Sekadar Menyisihkan
Pada suatu hari, di balai desa terdapat truk dinas sosial yang sedang mengangkut bulog yang putih bagai butiran permata hasil dari seorang petani. Bulog itu diterima oleh para relawan desa yang bagaikan juru kunci keselamatan rakyat. Memang truk tersebut berjalan dengan gagah diantara rakyat yang tengah menanti dan penuh dengan harapan. Seperti diketahui, Junari merupakan ketua dari relawan sosial yang bertanggung jawab atas bulog tersebut. Ia merupakan seorang relawan peduli sosial yang tumpul terhadap hak sosial orang lain dan mudah terhasut.
Pada suatu malam selepas maghrib, berkumpul beberapa relawan yang dikomandoi oleh Junari untuk membicarakan terkait pembagian bulog tersebut. Relawan tersebut diantaranya yaitu Ari, Bara, dan Agus. Junari hanya membicarakan hal tersebut kepada mereka bertiga karena mereka merupakan orang yang dekat dan bisa disebut dengan kaki-tangan. Pada sebuah meja yang ada di balai Desa yang diterangi dengan lampu berwarna kuning sedikit suram, mereka duduk melingkar bagaikan rapat meja bundar. Mereka layaknya sebuah dewan yang seakan membicarakan tentang persoalan kelangsungan hidup orang lain. Dudukl Junari diantara mereka sambil menjepit sebatang rokok yang menyala di tangan kanannya. Di hisapnya rokok itu lalu menghembuskannya, sampai-sampai asap dari rokok menggupal tebal diantara mereka bertiga.
“selamat malam semua” sapa Junari dengan ramahnya.
“malam” jawab mereka bertiga secara serentak.
“pada malam ini kita akan membahas mengenai sistem pembagian bulog yang akan kita laksanakan besok pagi. Untuk jumlah keseluruhan bulog yang diberikan oleh pemerintah sebanyak 1 ton untuk didistribusikan”
Mendengar hal itu membuat Bara menjadi sedikit antusias dan bergelagak mencurigakan sambil mengusap-usap kedua telapak tangannya.
“pada data yang ada terdapat 100 orang yang bisa dikatakan layak untuk menerima bantuan ini. Maka dari itu terkait sistem pembagiannya apakah dari kalian ada masukan ?” tanya Junari.
Mereka sejenak terdiam sambil memikirkan hal-hal yang licik dan penuh dengan siasat. Tampaknya mereka bertiga sudah merencanakan hal buruk. Bara, Ari, dan Agus saling mentap satu sama lain sembari sediki menggerakkan bibirnya seakan memberikan kode untuk menunjuk siapa yang berbicara. Pada akhirnya Bara lah yang berbicara dengan nada yang kecil agar tidak terdengar dari luar.
“Begini Junair, dalam satu karung bulog biasanya seberat 10 kg. Sedangkan pemerintah hanya memberikan 1 ton saja untuk didistribusikan kepada 100 orang. Lalu kita kebagian apa ?”
”maksudmu ?” tanya Junari yang masih merasa bingung dengan maksud dari pernyataan Bara.
“jadi begini, bagaimana kalau kita sisihkan 20 kg saja untuk kita bagi berempat. Yaa setidaknya kita juga ada bagianlah, kan kita yang bekerja”
“maksudmu korupsi ?” saut Junair dengan nada tinggi.
“heey, jangan keras-keras” sambung Ari yang tampaknya juga sangat antusias dengan hal tersebut.
“tidak, itu bukan hak kita”
“alah sekali ini saja, setidaknya kita juga pernah merasakan dapat bulog dari pemerintah” ungkap Agus.
“ayolah, kan hanya sekali ini saja” imbuh Bara.
“hmmmm,” Junair yang sedang menggumam dan merasa bingung apakah ia harus melakukan itu. Akan tetapi ada benarnya juga, bahwa ia juga seharusnya mendapat bagian sebagai bentuk apresiasi dan dedikasinya selama ini untuk membantu sesama. Atas hasutan mereka bertiga, akhirnya Junair setuju untuk menyisihkan 20 kg bulog.
“oke, baiklah. Tapi untuk 2 orang tidak kebagain bagaimana cara kita memberikan alasan ?”
“itu mudah, kita beralasan bahwa setelah dihitung ternyata bulog yang diberikan tidak sampai 1 ton, melainkan 980 kg. Jadi tidak semua kebagian” jawab Agus dengan begitu antusiasnya.
“baiklah kalau begitu”
“lalu, sekarang kau bawa kunci gudangnya ?” tanya Bara.
“iya, bawa”
“yaudah tunggu apalagi mumpung sepi, ayo kita ambil saja dan taruh di motor” sahut Agus yang sudah tidak sabar lagi.
Mereka bergegas pergi ke gudang penyimpanan bulog tersebut. Di bawah lampu yang suram dan dikelilingi oleh gelapnya malam, mereka menjalankan aksinya tanpa ada beban sekalipun. Sungguh keji malam itu tanpa mereka sadari hal tersebut merupakan tindakan yang dapat merugikan negara dan rakyat yang membutuhkan. Memang semua itu dilakukan atas dasar kesempatan dan peluang untuk melakukan korupsi. Akan tetapi pernahkah mereka berpikir apa yang mereka lakukan tidak memandang situasi dan kondisi di masa pandemi. Banyak buruh terpaksa di PHK, ekonomi menjadi bermasalah dan tidak seimbang. Entah malam itu mereka berempat sudah kehilangan akal sehat atau akalnya yang sudah tidak ada, tetapi mereka pasti akan mendapat hukuman atas perbuatannya.
Pada jalan yang hening, sepi tidak ada siapapun yang lalu-lalang. Terlihat Junair yang sedang membawa 1 karung bulog di atas motornya. Ia mengendarai motornya dengan cepat agar tidak ada orang tahu tentang apa yang Ia dan ketiga temannya lakukan di balai desa. Dia terus berjalan dengan penuh tawa tanpa berpikir tentang apa yang akan terjadi kemudian hari.
Sampailah Junair disebuah persimpangan jalan. Karena ia mengendarai motornya dengan cepat, maka jatuhlah bulog itu dan beras yang ada di dalamnya tumpah. Melihat hal itu membuat Junair panik. Ia takut apabila ada orang tahu.
“haduh, gawat. Mampus aku kalau ada orang yang tahu” umpat Junair sambil memegang kepala dengan kedua tangannya.
Persimpangan jalan itu tampak sedikit gelap karena hanya diterangi satu bohlam yang sudah usang. Terdengar suara jangkrik yang saling bersautan dari ladang sawah yang ada disamping persimpangan itu. Ladang sawah yang tampak kering dan penuh dengan hama karena petani tidak mampu membeli pupuk dan obat-obatan. Hal itu dikarenakan perekonomian yang suli, sehingga mengakibatkan seringnya gagal panen di desa itu. Banyak para petani yang kesulitan, jangankan berharap ingin menjual hasil panen untuk ditukarkannya menjadi uang, mereka lebih memilih menyimpannya untuk kelangsungan hidup mereka selama pandemi.
Sepertinya dipersimpangan jalan itu bukanlah tempat yang sepi. Terlihan seorang pejalan kaki yang muncul diantara gelapnya malam. Pejalan kaki itu bernama Irwan. Ia merupakan seorang anak muda berjaket abu-abu yang hendak pergi nongkrong di warung tepi jalan. Irwan melihat ada sepeda motor berhenti di tengah persimpangan jalan dengan seorang yang sedang menunduk seperti memungut sesuatu. Melihat hal itu, Irwan menghampirinya dan bertanya.
“apa yang terjadi ?” tanya Irwan.
“(Junair yang kaget sembari mengangat kepalanya) heh, kau membuat aku kaget saja” jawab Junair.
“malam-malam membawa sekarung bulog mau kemana pak ?” tanya Irwan.
Mendengar pertanyaan dari Irwan membuat Junair panik dan kebingungan untuk menjawab. Untuk menutupi apa yang ia lakukan, akhirnya Junair berdalih dan berbohong
“ohh ini, aku mau memberikannya kepada Yati, seorang janda tua yang hidup sebatengkara. Sudah ayo cepat bantu aku membereskannya agar cepat selesai”
“baiklah kalau begitu” jawab Irwan sembari berjongkok dan membantu Junair membereskan kekacauan yang terjadi dipersimpangan jalan tanpa sedikitpun merasa curiga.
Kebohongan yang dilakukan oleh Junair pada malam itu membuatnya berbohong lagi untuk menutupi kebohonganya. Entah berapa banyak kebohongan yang akan dilakukan Junair untuk menutupinya, yang jelas tindakan itu sangat merugikan orang lain.
Sesampainya di rumah, bergegaslah ia masuk ke dalam untuk menyimpan sekarung bulog yang putih bersih bagaikan mutiara yang dihasilkan dari padi premium.
“bulog dari mana ini?” tanya Tuti yang merupakan istri Junair.
“sudah diam saja, ini bulog yang aku sisihkan untuk kita. Kita juga memiliki hak, kan selama ini aku ikut aktif dalam kegiatan sosial, itung-itung ini merupakan upah aku selama ini”
“apa..!!!, kau korupsi bulog ?”
“hey, jangan keras-keras nanti ada tetangga yang tahu bisa ampus aku. Ini bukan korupsi, tapi menyisihkan apa yang seharusnya kita bisa nikmati. Istilah korupsi terlalu tinggi untuk disematkan kepadaku. Korupsi khusus disematkan kepada orang yang berpendidikan tinggi, bukan sepertiku yang hanya lulusan SMP. Istilah korupsi merupakan tingkat keadilan VIP”
“maksudmu ?” tanya Tuti.
“iya, tindakan korupsi yang dilakukan pejabat negeri pasti tidak sebanding dengan hukuman yang diberikan. Tindak pidana korupsi masih memiliki pelayanan layaknya hotel bintang lima meski mereka dinyatakan terdakwa. Tapi, bagaimana dengan orang seperti kita yang hanya rakyat biasa tanpa pangkat dan jabatan. Maka dari itu kau diam saja, jangan banyak bicara, ini semua merupakan bentuk pembuktian kita kepada penguasa. Mereka bisa korupsi semaunya, kita sebagai rakyat juga bisa korupsi”
“kita ?..., kau melakukannya tidak sendiri ?”
“iya, aku diajak oleh Agus, Bara, dan Ari.”
“Sudah jangan banyak tanya, diam dan jangan bicara kepada siapapun”
~(esok hari)~
Pagi yang cerah dengan matahari yang bersinar begitu terik sebagai penanda bahwa hari itu memang sangatlah panas meski masih puku 08.00 WIB. Terlihat barisan yang tampak mengantri untuk mendapatkan bantuan sosial. Mereka duduk dikursi sambil menunggu nama mereka dipanggil. Tampak raut muka yang penuh dengan harapan. Mereka yang berkumpul di balai desa pada hari itu merupakan orang tidak mampu dan berhak mendapatkan bantuan sosial.
Bulog yang tersedia pada hari itu sebanyak 98 karung, sedangkan berdasarkan daftar orang yang berhak mendapat bantuan itu sebanyak 100 orang. Pada akhirnya orang yang tidak mendapatkan bantuan itu adalah kakek Ahmad yang tinggal digubuk sudut desa dan janda tua yang bernama Yati. Mereka berdua pulang tanpa mendapatkan apa-apa. Padahal mereka sangat menantikan bantuan itu. sudah beberapa hari mereka tidak makan. Ekonomi yang kian sulit, makanan yang begitu langka membuat mereka berdua sangat bergantung kepada bantuan itu.
Kakek Ahmad yang sudah tua kisaran umur 80an dengan punggung bungkuknya berjalan di bawah terik matahari yang pada hari itu sangatlah panas. Kakek Ahmad yang dari kemarin belum makan dan berharap mendapatkan bantuan bulog itu akhirnya jatuh pingsan di pinggir jalan. Orang-orang melihatnya langsung bergegas mengerumuni kakek Ahmad dan diangkatnya kembali masuk ke dalam balai desa. Namun nasib tidak ada yang tahu, ternyata kakeh Ahmad sudah wafat. Melihat hal itu membuat Junair menjadi takut dan merasa bersalah. Kemudian Junair menghampiri Agus, Bara, dan Ari.
“bagaimana ini ?” tanya Junair.
“sudah diam saja, pura-pura tidak tahu saja” bisik Ari.
Jasad kakek Ahmad langung diurus dan dikebumikan pada hari itu juga. Junair, Agus, Bara, dan Ari juga ikut dalam mengurus pemakaman kakek Ahmad. Mereka tampak biasa saja dan menganggap hal itu bukan karena ulah mereka. Hal itu dilakukan untuk menutupi tindakan mereka pada malam itu.
Hari semakin gelap, kelelawar mulai beterbangan di atas pohon yang sedang berbuah lebat. Suara jangkrik kian menyapa tanpa henti dan memecah kesunyian yang ada. Seakan ingin menghapus jejak peristiwa yang terjadi pada hari itu. Terlihat rumah janda tua bernama Yati yang tampak sepi, seperti tidak ada orang di dalamnya. Terlihat seorang tetangga yang hendak berkunjung ke rumah Yati untuk memberikan sedikit makanan. Tetangga itu mengetuk pintu, akan tetapi ternyata pintu itu tidak dikunci dari dalam. Tetangga itu masuk dan terkejut melihat Yati sudah tergeletak kaku dilantai yang masih berupa tanah. Tetangga itu menggoyang-goyangkan badan Yati, dengan tujunan agar Yati sadar. Kemudian tetangga itu memegang nadi Yati yang ternyata sudah tidak berdenyut. Hal itu sebagai tanda bahwa Yati sudah meninggal karena kelaparan. Mengetahui bahwa nadi Yati sudah tidak berdenyut, tetangga itu bergegas keluar dan dengan histeris memanggil para warga.
Hari itu penuh dengan kejadian yang tidak terduga. Terdapat dua orang meninggal akibat ulah dari empat orang yang tidak bertanggungjawab. Sepertinya kabar itu cepat tersebar dan sampai ke telinga Junari. Junari merasa bersalah dan penuh dengan tekanan. Rasa bersalah itu terus menghantui sepanjang malam. Sampai-sampai ia tidak tidur dan duduk dipojokan kamar dengan terus melamun.
Pada pagi harinya para warga mulai curiga dengan Junair dan ketiga temannya. Sebab, pada saat datangnya bulog dari truk tampak jelas bahwa terdapat 100 karung bulog seberat 1 ton. Akan tetapi ketika dibagikan hanya tersisa 98 karung, yang 2 karung entah kemana. Kemudian Irwan mengatakan kepada warga bahwa, kemarin malam ia berjumpa Junair seperti tergesa-gesa dan membawa sekarung bulog. Mendengar hal itu para warga merasa geram. Mereka bergegas pergi ke rumah Junair untuk mendapatkan keterangan mengenai hal itu. Setelah sampai di rumah Junair, terdengar keributan dan tangis Tuti. Setelah salah seorang warga masuk ke dalam rumah Junair, terlihat Tuti yang sedang menangis di kursi tamu.
“apa yang terjadi dengamu? Dimana Junair?” tanya salah seorang warga yang masuk ke dalam rumah.
“dia ada di kamar” jawab Tuti dengan nada tersendat-sendat karena tangisan sambil menunjuk kamar tempat Junair berada.
Beberapa warga itu bergegas ke kamar Junair untuk mengetahui apa yang terjadi dan menanyakan terkait hilangnya 2 karung bulog yang seharusnya menjadi hak dari kakek Ahmad dan Yati. Setelah mereka masuk ke kamar tempat Junari berada, beberapa warga dikagetkan dengan keadaan Junair yang compang-camping sembari berteriak.
“AKU SEKADAR MENYISIHKAN”
: