selamat datang di situs erklaren media informasi dan komunikasi. harap bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakannya

Empat Shinobi Indekos Bagian 9 (Malam Purnama)

Angin berhembus dengan lembut menyapa ranting. Ranting bergoyang dengan lenggokan yang begitu mesra. Bagai menyambut sejoli yang berjalan disepanjang jalan sepi. Malam hening dengan cahaya bulan menembus pelupuk kalbu. Tampak menyapa sejoli yang berjalan bersanding dengan begitu anggun. Di sudut jalan dengan cahaya yang redup dari lampu yang usang. Berkedip lampu itu, seakan mengisyaratkan kalau dia memang benar-benar tidak mampu melihat dua sejoli yang berjalan melawatinya. Akankah lampu jalan itu cemburu melihat mereka?

Angin yang terus berhembus pelan. Menyapa debu perkotaan dengan begitu mesranya. Terlihat purnama yang begitu merona kian menyapa sejoli yang berjalan bersama dengan penuh irama. Cahaya merona begitu terang, menembus gelapnya sudut jalan. Lampu yang usang itu kini tak lagi mampu melihat keharmonisan sejoli itu, padam lah ia. Jalan yang sepi karena ditinggalkan lampu usang yang sudah padam kian menambah kekuatan purnama untuk menemani sejoli yang berjalan berdampingan. Purnama bagai pahlawan, memberi cahaya keindahan untuk membantu sejoli menyusuri heningnya jalan. Sejoli itu Setya dan Bunga yang berbincang dengan mesra penuh sapa. Di antarkannya Bunga ke tempat indekosnya dengan penuh rasa yang tak pernah terasa dibenak kedua sejoli yang bermesra dibalik cahaya purnama. Sembari berbincang persoalan dunia yang begitu keruh. Kekeruhan itu bagaikan air sungai yang kecoklatan bercampur lumpur yang mengendap didasar dan tak tampak dipermukaan. Mereka berbincang!

“terkadang aku terheran pada diriku” ujar Bunga

“Haaaaa, heran?” saut Setya dengan ketololannya

“iya, aku nggak tahu atas dasar apa aku mengambil jurusan sastra, sungguh lucu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi”

“ohhh gitu”

“dari tadi responmu kok gitu sihhh! Gak asik” jawab bunga dengan ketus.

“lohh terus aku harus bagaimana?.... harus nangis gitu?” jawab Setya

“gatau, dah lahh” ujar Bunga

Suasana hening kembali, itu semua karena ketololan Setya yang tidak bisa membangun suasana dengan baik. Ya maklum lah, orang seperti Setya itu mana ada rasa simpati sama cewek. Keheningan itu mulai terasa dengan suasana yang begitu dingin, diam, hening terpaku. Angin yang menyapa ranting kian mesra. Awan yang tebal kian benci dengan sejoli yang dari tadi bercengkrama diantara mereka. Seakan dihiraukan dan tak dianggap ada. Angin terus berhembus kian mendayu. Dingin kini terasa hingga kekulit tulang, pucatlah tangan. Bulu kudu kian merayu, disapa dingin yang berangin. Di lepaskannya jaket dan diberikan kepada Bunga.

“ini pakailah” ujar Setya sembari memberikan jaketnya kepada Bunga.

“Hmmmm, lah kamu pakek apa?” jawab Bunga.

“pakai baju, pakai celana, dan sepasang sepatu butut zaman SMA,... oh iya sama sepasang kaos kaki yang tak lagi pernah dicuci”

“hahahahahaha” tawa Bunga mendengar ucapan Setya.

“udah pakai...!” sembari menawarkan jaketnya pada Bunga.

“baiklah” bunga menjulurkan tangannya dan meraih jaket Setya, kemudian memakainya.

Malam itu memang terasa dingin dan sepi. Cahaya purnama kian terang, seakan menyambut datangnya kebahagiaan. Hembusan angin yang terus menusuk jiwa kian meraba. Bagai bestari yang kian kokoh berdiri dan tak ujung kembali. Angin kian berhembus dengan mesra, seakan menyapa dua sejoli yang malam itu bejalan diantara gang. Tampak kelelawar bergelantungan di atas pohon, dengan sayapnya bagaikan selimut yang menutupi tubuhnya. Memang dingin malam itu tak sedingin biasanya. Tiada pintu yang terbuka karena tak ingin udara dingin masuk ke dalam ruangan yang penuh kehangatan.

Tampak langit yang kini kian cemburu melihat mereka berdua berjalan diantara gang dengan penuh kesunyian. Di tutupinya bulan dengan badannya yang bagaikan bulu domba dengan begitu tebalnya. Entah apa yang dipikirkan oleh langit dan apa yang akan ia perbuat pada kedua sejoli itu. Terlihat kilatan yang menandakan akan terjadi sesuatu pada malam itu. tapi tampaknya dua sejoli itu tak menghiraukannya dan tetap berjalan. Langit ingin mengalihkan pandangan Bunga kepadanya, namun Bunga tak menghiraukan. Ia tetap berjalan dengan begitu tenangnya bersama Setya.

Melihat itu semua menjadikannya cemburu. Kecemburuan itu ia lampiaskan dengan meneriakkan guntur yang menggelegar, barulah Bunga mendengarnya. Akan tetapi, perhatiannya tidak kepada langit yang sedang mencari perhatian Bunga, akan tetapi pandangannya justru tertuju pada Setya. Tampaknya langit tak lagi dipedulikan oleh Bunga, ia pun cemburu berat dengan hal itu. Ia terus meneriakan guntur yang begitu keras, apakah ia marah pada Bunga? Atau ia marah pada Setya? Karenanya ia tidak ada tempat bagi keduanya.

DDrrrrrrrrrrrrrrr (suara guntur)

“eh, mau turun hujan, ayo lari keburu kehujanan” ajak Bunga kepada Setya.

“ngapain lari..? bikin capek aja.!) jawab Setya dengan santainya.

“heeyyy ayookk nanti basah”

“yakan kita belum tahu hujannya air atau bukan, yakan siapa tahu hujan duit kan lumayan, bisa untuk menyambung hidup anak kos” jawab Setya dengan santainya.

Mendengar jawaban Setya, membuat Bunga menghela nafas begitu dalam.

“dasar....,,,,, kalau mau duit ya kerja. Jangan Cuma berharap saja, tanpa berusaha ya mana bisa dapat duit” ujar Bunga yang memberikan fatwa kepada Bunga dengan penuh kekhusukan.

Mendengar ucapan Bunga, si Setya tak langsung mengiyakan. Ia malah menjawab dengan begitu santainya dan seakan-akan ia paling benar.

“etttss..... ingaat..! segalanya sudah diatur sama yang di atas. Jadi, kalau seandanya hari ini hujan duit tapi kita lari malah seakan-akan tak menikmati pemberian” jawab Setya.

“udah lahh..., pokoknya ayo lari, tidak usah protes” ujar Bunga sembari meraih tangan Setya.

Akhirnya pada malam itu mereka berlari dengan begitu mesranya. Seolah-olah malam yang dingin itu tidak dihiraukannya kembali. Tampaknya mereka berdua tidak tahu bahwa, ada yang cemburu melihat mereka berdua lari dengan begitu mesranya. Langit yang dari tadi berusaha untuk mendapat perhatian Bunga sehingga perhatiannya tak lagi terarah pada Setya, justru malah membuat mereka semakin dekat, sungguh mengenaskan nasip langit pada malam itu.

Malam yang begitu sunyi tiada seorang yang lalu-lalang di gang itu. Hanya terdengar decitan tikus yang berada di saluran air. Tampaknya mereka bersiap untuk melewati malam yang dingin dengan berkumpul dengan yang dikasihi. Tidak hanya itu saja, kekelawar yang beterbangan kesana kemari mulai kembali ke atas puhon untuk menghabiskan malam yang dingin dengan dekapan sayap bagaikan selimut. Bulan yang tadinya memancarkan sinarnya dengan penuh kebahagiaan, sekarang menerima imbas dari kecemburuan langit kepada Bunga. Kini bulan yang tadinya masih terlihat samar diantara awan, kini sudah terbenam padam.

Sempailah dua sejoli itu di depan kos, sambil terengah-engah karena berlari.

“akhirnya sampai juga” ujar Bunga.

“yahhh dah sampai” jawab Setya.

“udah malam, aku masuk dulu ya, terima kasih udah dianterin hehehehe”

“heyy gitu aja..? ga dipersilakan masuk gitu..!? buatin minum atau apa gitu..!?” sahut Setya dengan penuh rasa iba.

“heyy,,, ya ga boleh masuk lahh,, ini kos cewek... hehehehe!..”

“yaudah aku masuk duluu,.... byeeeeeee”

“heeehhh heehhhh tungguuu, jaket kuuuu” teriak Setya, namun Bunga langung masuk begitu saja tanpa menghiraukan Setya.

“hadeehhh,,, udah dianterin, dipinjami jaket, disuruh lari sampai ngos-ngosan, udah ditelantarin nggak dikasih minum atau apa, dan sekarang jaketnya ngga dikembaliin,.... hadehhhhhhhh” gerutu  Setya sembari mengelus dadanya yang kurus dan kering kerontang.

Kembalilah Setya dengan kesalnya. Ia berjalan diantara gang yang ia lalui bersama Bunga sembari terus menggerutu. Tampaknya pada malam itu langit melihat kekesalan Setya. Langit ingin membalas kecemburuannya. Gemuruh dan kilatan kian menjadi. Terdengarlah deru hujan yang begitu deras dari kejauhan. Tikus yang tadinya berdecit dengan ramainya, kini sudah tidak ada entah kemana. Begitu juga dengan kelelawar yang tadinya bergelantungan di atas pohon kini sudah pergi entah kemana. Mungkin mereka tahu bahwa langit pasti akan melampiaskan kecemburuannya dan mereka tak ingin menerima imbasnya layaknya bulan yang tak tahu apa-apa.

Turunlah hujan yang begitu deras, sampai-sampai mengaburkan jarak pandang. Setya berlari dengan kencangnya untuk kembali ke kosnya. Entah apa yang terjadi pada Setya pada hari itu. Nasib buruk terus menimpa Setya bagaikan itu semua sudah menjadi ketetapan yang tidak bisa diganggu gugat. Langit begitu senang melampiaskan kecemburuannya. Di sepanjang jalan, ia menghujani Setya dengan begitu mesranya. Sesampainya ia di kosnya, ia disambut dengan meriah oleh tawa Juki, Bedul, dan Putra. Tawa mereka dibumbui dengan ledekan yang penuh dengan ketulusan.

“heee,,habis mandi dari mana luuu” sahut Bedul.

“gini niih kalau orang yang ga pernah mandi, itung-itung mandi lah yaaa” tambah Juki.

“mandinya udah sikat gigi belum..,,?” ejek Putra.

“HAHAHAHAHAHHHAHAHA” mereka tertawa bersamaan dengan penuh ketulusan meledek Setya.

“............Aahhh Diaam Diammm, hari ini kena apes teuussss...............” sahut Setya. “dah lah” Setya pergi menghiraukan ledekan merka dan pergi kamar untuk berganti baju, karena bajunya basah kuyup.

Setelah selesai berganti baju, terdengar notifikasi  WhatsApp pada HP Setya.

“ttlliiing (suara notifikasi)” tertulis Bunga.

Setya mengambil Hp-nya dan membukanya. Pada pesan tersebut tertulis:

Bunga: Heeyyy,,, udah sampai kos-an belum? Tadi hujan deras. Kehujanan ya?,,,.. hehehe jaketmu lupa, kebawa dehhh, heheheh.

Setya: ihhhh,,, udah dianterin, ga dikasih minum, udah kehujanan, dan dipinjemin jaket tapi ga dikembalikan,........ ihhhh...

Bunga: ya maap, kan lupa hehehe. Ya udah besok aku kembalikan.

Setya: eehhh bentar dulu,.. jangan lupa dicuci dulu, sudah 5 hari jaket nggak aku cuci. Yaa sekalian aja gitu hehehe...

Bunga: ihhhh jadi aku tadi makek jaket kotooorr?? jorokk amat.,,,,!!!!!!!

Eh tapi masih wangi nihhh,,...?!

Setya: hehehe,,.. selagi ada parfum, kan terlihat bersih.

Bunga: ihhh..... ya udah iyaa aku cuciin, anggap aja sebagai ucapan terima kasih.

Percakapan pada malam itu berakhir begitu saja. Hal itu karena Setya ketiduran. Hari itu memang hari yang melelahkan bagi Setya. Ke tidak beruntungan Setya pada hari itu sungguh mengenaskan. Malam itu begitu hening seusai hujan berhenti. Dan purnama kembali terlihat dengan begitu indahnya, seakan merasakan kenyamanan yang tiada duanya. Hal itulah yang dirasakan Bunga pada malam itu, sembari menatap bulan yang merona.

: