BERNEGO DENGAN KEMUNAFIKAN
Karya Citra Ika Prasetya
Pada sebuah kampung kecil dipesisir pantai selatan, ada seorang lelaki yang berperawakan layaknya seorang alim. Orang-orang menyebutnya Zul. Ia merupakan lelaki kisaran umur 30an dan merupakan seorang yang dipandang baik oleh masyarakat sekitar. Ia tinggal dekat dengan surau, sehingga orang-orang menganggapnya sebagai pemangku surau tersebut. Setiap malam ia pergi sembahyang untuk menunaikan kewajiban dan sunahnya.
Meski ia dipandang baik oleh orang lain, akan tetapi sebenarnya ia sudah mulai bosan dengan kealimannya. Zul melakukannya karena tuntutan dari bapaknya yang sudah mati dan merupakan seorang Kyai di kampung tersebut. Oleh karenanya ia terpaksa untuk menjadi orang yang alim karena tuntutan itu.
Pada suatu hari Zul bertemu dengan seorang pemabuk bernama Alim. Ia juga tinggal dikampung tersebut. Zul bertemu dengan Alim disebuah persimpangan jalan menuju surau. Awalnya Zul ingin menghindari Alim karena ditakutkan citranya sebagai orang alim dan panutan dikampung tersebut menjadi buruk. Namun justru Alim yang menghampiri Zul dengan membawa sebotol anggur merah ditangan kirinya, dan tangan kanannya menjepit sebatang rokok yang berasap dengan penuh gaya layaknya seorang pemabuk.
“kau hendak kemana wahai Zul si orang alim? Marilah bersamaku kita nikmati suasana yang penuh kemunafikan ini dengan penuh mesra dengan sebotol anggur yang cantik ini”
“tidak Alim, saya tidak minum seperti itu”
“tidak usah mengikuti gaya orang-orang zaman sekarang, kau sudah terpengaruh dengan kehidupan yang penuh kemunafikan yang ada di dunia ini. Kemunafikan yang subur bagaikan padi yang hidup diantara lumpur dan pupuk.”
“apa maksudmu, Alim?”
“iya, kau sudah terpengaruh kebusukan dunia dengan segala kemunafikan yang ada tanpa terlihat oleh mata telanjang. Tapi ketahuilah, hanya mata hati yang dapat melihat kemunafikan orang. Kau dengar itu Zul? Mata mu sudah buta atau bagaimana? Kau tidak bisa melihat semua ini? Kau sudah terpengaru kemunafikan itu Zul, si orang alim”
“apa maksudmu?”
“apakah kau tak melihatnya ? kau bodoh. Apakan ini kebodohan seorang alim yang terselimuti kemunafikan dunia sampai-sampai tidak bisa memahami perkataan seorang pemabuk yang kaya akan halusinasi seperti ini?"
Percakapan mereka semakin tidak karuan. Zul dibuat bingung oleh perkataan Alim yang seakan mengetahui segalanya tetang dunia ini dan segala kemunafikannya. Alim berkata “memang seorang pemabuk tidaklah dihargai baik perkataan ataupun perilaku. Tapi apakah salah seseorang yang menampilkan jati dirinya meski hal itu buruk? Apakah orang yang lepas dari segala kemunafikan dianggap dosa? Apakan dosa itu begitu besar, sampai-sampai orang lain lebih mementingkan citranya saat bertemu dengan orang sepertiku? Bukankah diriku ini suci karena lepas dari kemunafikan? Bukankah begitu Zul?"
Zul hanya terdiam dan tak bisa berkata apa-apa, ia merasa kalau perkataan Alim mempengaruhi pikiran dan sanubarinya. “Zul, jawab!” bentak Alim.
“entahlah aku tidak tahu”
“kau tidak tahu? Dirimu yang alim saja tidak tahu mengenai hal itu? apalah dayaku sebagai seorang alim hanya sebatas nama saja”
“Zul, kau orang alim bukan? Bagaimana kalau kita bertukar nama saja, biar aku yang memakai namamu dan kamu memakai namaku? biar sesuai dengan penilain orang terhadapmu”
“Zul, coba tanyakan pada tuhan apakah citra baik seseorang itu berharga meski harus melakukan kemunafikan yang begitu besar? Dan apakan orang yang tidak melakukan kemunafikan dianggap dosa? Apakah tuhan mau memaafkan diriku yang tidak mengikuti saran dunia yang diciptakannya dan mengharuskan manusia untuk berbuat munafik untuk mendapatkan citra baik? Tolong tanyakan Zul dan sampaikan kepadaku. kalau seandainya kemunafikan adalah printah maka aku akan mengikutinya dan apabila kemunafikan adalah larangan, maka aku akan mati besok dan minta tolonglah kepada tuhan untuk menghilangkan pandangan buruk kepada orang sepertiku setelah aku mati!”
Percakapan tersebut membuat Zul tidak nyaman. Ia bergegas meninggalkan Alim dan pergi melanjutkan perjalanan menuju ke surau untuk sembahyang. Di sepanjang perjalanan ia dihantui oleh perkataan Alim yang akan mati. Sesampainya disurau ia bergegas mengambil wudhu. Akan tetapi disetiap basuhannya ia masih mengingat perkataan Alim. Tampaknya perkataan Alim benar-benar menghantui pikirannya.
Terdengar suaru gemuruh ombak pantai yang bersenandung dengan batu karang dengan mesranya menyipratkan air ke tepian. Gemuruh ombak tersebut sangat jelas terdengar di dalam surau. Akan tetapi, yang terdengar ditelinga Zul saat sembahyang hanyalah perkataan Alim. Alim seakan-akan mengetahui segala hal, termasuk apa yang ada pada diri Zul. Alim memang seorang pemabuk dan dikenal banyak orang. Ia dicap sebagai orang dengan citra yang hina. Akan tetapi setelah mendengarkan perkataan Alim tadi, membuat Zul bingung dan terus berpikir kesana-kemari dan tidak jelas. Bahkan saat ia sembahyang lupa dengan rokaat yang ia sudah lakukan. Memang sembahyang yang ia lakukan hanyalah sunah, tapi ia tidak selesai-selesai menjalankannya meski hanya dua rokaat. Tampaknya Zul dimabukkan oleh perkataan Alim si pemabuk yang tersohor itu. Menyadari hal itu Zul berhenti sejenak dari sebahyangnya untuk menenangkan dirinya yang hari itu dibuat mabuk oleh Alim dengan segala perkataannya. Zul sadar bahwa tuhan pernah mengatakan larangan bahwa, janganlah salat saat sedang dalam keadaan mabuk, sehingga tidak mengerti apa yang diucapkan. Hal itu yang saat ini dialami oleh Zul. Ia kemudian duduk untuk menenangkan diri. Duduk dirasa ia tidak juga mendapatkan ketenangan. Maka, berbaringlah ia sembari menatap langit-langit surau yang kayunya sudah lapuk termakan usia. Sangking fokusnya menatap langit-langit surau membuatnya tertidur dengan begitu tenangnya.
Dalam tidurnya yang begitu tenang, terdengar suara yang begitu keras masuk dalam mata hatinya, seakan memanggil dan menunjukkan keberadaannya kepada Zul. Akan tetapi Zul tidak bisa terbangun dan membuka matanya, layaknya seorang yang sedang ketindihan. Suara itu memanggil Zul seakan-akan ingin mengatakan sesuatu kepada Zul terkait keresahan hatinya setelah mendengar perkataan Alim.
“siapa kau? Apakah kau tuhan?”
“iya, aku adalah tuhan yang mendiami hatimu”
“tidak mungkin, manusia tidak bisa bertemu dengan tuhan kecuali dia utusan-Nya”
“ternyata kau bodoh, Zul. Seberapa tahukah engkau terhadap tuhan. Pengetahuanmu tak lebih tinggi dari seorang pemabuk bernama Alim”
“apa maksudmu? Aku adalah anak dari seorang Kyai di kampung ini. Dan dipandang baik oleh orang lain karena ke alimanku. Kau bandingkan aku dengan Alim si pemabuk itu”
“sampai kapan kau menjalani kemunafikan ini, apakah kau tak lelah? Aku adalah tuhanmu”
“tak mungkin, manusia tak bisa bertemu dengan tuhan. Keluar dari diriku”
“Aku tak akan keluar kecuali Aku menghendakinya.”
“sampai kapan kau terus memupuk kebodohan dan kemunafikan ini Zul, pengetahuanmu tak lebih tinggi dari Alim. Tuhan pada dasarnya ada disetiap hati seseorang. Tuhan tidak pernah meninggalkan seseorang , dan tuhan maha tahu segala kemunafikan yang ada pada diri seseorang karena Dia mempunyai mata di hati setiap orang. Termasuk apa yang saat ini terjadi padamu Zul, apakah kau sudah mengerti Zul?”
“(Zul hanya terdiam dan mulai memahami apa yang dimaksud oleh Alim waktu itu)”
“kau sudah tertutup dengan kemunafikan yang kau miliki sampai kau tidak mengerti keberadaanKu dalam dirimu. Kau terlalu buta oleh citra bapakmu tanpai kau bertanya padaKu apakah penting citra tersebut. kebutaan itu membuatmu menjadi orang yang memandang orang lain rendah tanpa melihat apa yang dimaksud oleh seorang pemabuk”
“tapi bukankah itu menjaga citra orang tua adalah perlu dan menjadi bentuk baktinya?”
“iya, memang hal itu perlu. Akan tetapi melibatkan sifat munafik itulah yang tidak perlu. Alim sudah menemukan dirinya dan menepis kemunafikannya. Meski namanya Alim, ia lepas dari nama itu dan lebih memilih hidup sebagai orang yang terbebas dari kemunafikan dunia”
“tapi dia seorang pemabuk, bukankah minum-minuman keras itu Kau larang?”
“iya hal itu aku larang, terutama ketika menjalankan salat. Tapi tahukah kau Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Karena Aku Tuhan”
Mendengar hal itu membuat Zul terdiam sejenak dan tiba-tiba ia teringat mengenai kematian Alim dan pertanyaannya. Kemudian ia bertanya “jika Kau tuhan jawablah pertanyaanku. apakah citra baik seseorang itu berharga meski harus melakukan kemunafikan yang begitu besar? Dan apakan orang yang tidak melakukan kemunafikan dianggap dosa? Apakah Kau mau memaafkan walau tidak mengikuti saran dunia yang Kau ciptakan dan mengharuskan manusia untuk berbuat munafik untuk mendapatkan citra baik?"
”Ku rasa hal itu bisa kau jawab sendiri, Zul”
“kemunafikan memang hal yang tidak baik untuk dilakukan. Meski hal itu digunakan untuk mendapatkan citra yang baik dari seseorang. Dan ketahuilah Zul, sesungguhnya Tuhan Maha Pengampun”
Tiba-tiba suara itu lenyap dan seketika itu juga Zul dapat membuka matanya dan terbangun dari tidurnya. Keringat bercucuran menetes begitu deras dan detak jantung yang begitu cepat dirasakan oleh Zul. Ia kemudian bergegas mengambil wudhu dan menyelesaikan salatnya. Setelah apa yang ia alami kala itu, ia berhasil menyelesaikan ibadahnya dengan baik. Setelah selesai, ia teringat kepada Alim dan hendak menghapirinya untuk menyampaikan jawaban tersebut. Zul berlari mengelilingi kampung untuk mencari Alim. Sampailah ia pada kerumunan warga yang seakan menonton sesuatu yang menghebohkan. Zul penasaran dan bergegas melihatnya untuk mengetahui apa yang terjadi. Secara mengejutkan, ternyata para warga sedang mengerumuni jasad Alim yang mati dalam keadaan bersujud.
(Tulungagung, 23 Oktober 2021)
: