selamat datang di situs erklaren media informasi dan komunikasi. harap bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakannya

Awal Lahirnya Sastra Indonesia Modern

Sastra Indonesia baru (modern) ditandai dengan digunakannya bahasa Indonesia. Sebagai cerminan pikiran dan perasaan manusia dalam hubungannya dengan sastra, bahasa menggambarkan suatu keadaan atau gambaran dalam pikiran yang disajikan dengan penuh imajinasi atau pencitraan. Untuk menentukan awal lahirnya sastra Indonesia modern para pengamat sastra tidak sependapat dengan masa mula sastra Indonesia. 

  1. Sastra Indonesia baru ada sesudah Proklamasi Kemerdekaan 1945.
  2. Sastra Indonesia baru ada sesudah Sumpah Pemuda 1928.
  3. Sastra Indonesia sudah mulai pada awal tahun duapuluhan.

Pendapat pertama di atas dikemukakan oleh Slametmuljana. Ia menghubungkan nama negara Indonesia dengan nama sastra Indonesia. Sastra sebelum Proklamasi kemerdekaan 1945 semuanya masih digolongkan sastra daerah.

Pendapat kedua di atas dikemukakan oleh Umar Junus. Ia menghubungkan nama Sumpah Pemuda dengan nama sastra Indonesia. Ia beranggapan bahwa, sastra Indonesia baru ada sesudah Sumpah Pemuda 1928. Sebelum Sumpah Pemuda 1928 sudah ada bahasa yang dipergunakan sebagai unsur sastra, yang akan diresmikan namanya menjadi bahasa nasional Indonesia. Sastra yang dimaksud adalah sastra Indonesia.

Pendapat ketiga di atas dikemukakan oleh Fachruddin Ambo Enre. Ia berpendapat bahwa ditinjau dari sudut bentuk, bahasa, dan isinya, kesusastraan yang muncul pada masa-masa duapuluhan ini yang menunjukkan adanya pengaruh kesusastraan Barat; isinya mencerminkan keadan masyarakat pada zamannya, masyarakat Indonesia yang sedang mengalami pertumbuhan; gaya bahasa dan perbendaharaan kata-katanya tidak lagi serupa dengan bahasa di zaman Abdullah bi Abdulkadir Munsji.

Mengenai pendapat ketiga pengamat sastra di atas tentang masa mula sastra Indonesia, H. B. Jassin mengatakan bahwa Angkatan 20-an lahir pada zaman Balai Pustaka (1908) dengan terbitnya roman Siti Nurbaya (1922). Bahkan sebelum terbitnya roman Siti Nurbaya, telah terbit roman Azab dan Sengsara dalam tahun 1920 yang dianggap sebagai roman pertama Indonesia.

Sastra Indonesia Baru, menurut beberapa ahli dimulai dari munculnya roman-roman terbitan Balai Pustaka tahun 1900-an. Oleh karena itu, dibandingakan dengan sastra dunia, sastra Indonesia Baru hingga sekarang terhitung masih sangat muda. Sastra Indonesia setidaknya didasarkan pada lahirnya Balai Pustaka sebagai tonggak politik sastra Indonesia. Munculnya unsur nasionalisme dalam karya sastra tanah air, menjamurnya karya sastra dengan tema sosial masyarakat modern, serta mulai ditinggalkannya ciri sastra menjadi Sastra Indonesia.

Kesusastraan Baru dimulai sejak berdirinya Balai Pustaka sampai saat ini. Periode-periode tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Angkatan 20

Angkatan 20-an disebut juga dengan angkatan Balai Pustaka karena karya sastra yang termasuk dalam angkatan ini adalah penerbit Balai Pustaka. Balai Pustaka sendiri merupakan badan penerbit yang didirikan pemerintah kolonial Belanda dengan tugas menyiapkan buku bacaan yang memenuhi kegemaran membaca masyarakat dan memajukan pengetahuan menurut tartib dunia, serta menjauhkan segala yang dapat merusak kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri. Jelas sekali tujuan itu demi kepentingan kolonial Belanda yang mulai khawatir akan maraknya nasionalisme sebagai akibat terbitnya sejumlah pers bumiputra yang radikal. Angkatan ini juga disebut Angkatan Siti Nurbaya karena dalam periode ini roman Siti Nurbaya sangat melegenda. Sastrawan pada periode ini antara lain: Merari Siregar, Marah Rusli, Abdul Muis, Jamaluddin (Adinegoro), Muhammad Yamin, Rustam Effendi, Sanusi Pane.

2. Angkatan 33

Angkatan 33 disebut juga angkatan Pujangga Baru karena pengagas aliran baru tersebut terkumpul dalam majalah Pujangga Baru. Pujangga Baru mulai timbul setelah adanya sumpah pemuda 28 Oktober 1928 yang menjadi sejarah penting untuk Indonesia. Peristiwa itu mendorong para sastrawan untuk ikut berjuang mempersatukan bangsa dengan mengadakan pembaharuan di bidang kesusastraan. Hal itu dibuktikan dengan pendirian Pujangga Baru oleh sastrawan muda sebagai tempat penyaluran cita-cita, yaitu mempersatukan para penulis yang karyanya tersebar di beberapa majalah. Mereka membuat majalah khusus yang membahas tentang bahasa, sastra, dan kebudayaan umum.

Pada 26 Juni 1933 terbitlah majalah Poedjangga Baroe yang didirikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah. Majalah tersebut terbit sebulan sekali dan tersebar luas di kalangan sastrawan dan terpelajar waktu itu. Meski begitu, majalah Poedjangga Baroe tidak mendapat respon dari kaum bangsawan Melayu serta mendapat kritik keras oleh para guru yang setia kepada pemerintah kolonial Belanda. Mereka menganggap majalah tersebut akan merusak bahasa Melayu karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing. Sastrawan pada periode ini antara lain: Sultan Takdir Alisjahbana, Armin Pane, Amir Hamzah, J. E. Tatengkeng, Hamka, Zuber Usman.

3. Kesusastraan  Zaman Jepang (angkatan 42)

Kesusastraan ini lahir pada 1942-1945, yaitu dalam masa penjajahan Jepang di Indonesia. Pengaruh penjajahan ini berpengaruh terhadap sastra pada saat itu. Pengaruh tersebut disebabkan adanya batasan-batasan karya yang boleh diterbitkan. Pada masa pendudukan Jepang, sastra merupakan salah satu media propaganda. Karya sastra pada saat itu terbagi menjadi beberapa bentuk atau genre yakni naskah drama, puisi, cerita pendek, buku dan sebagainya. Hal tersebut diperkuat dengan adanya Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso) yang berguna untuk mendukung program Pusat Propaganda (Sendenbu) di bawah pengawasan militer Jepang menciptakan karya sastra. Fungsi propaganda tersebut adalah untuk mendoktrinasi bangsa Indonesia dan media untuk mobilisasi agar dapat menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.

Pada masa Jepang, Balai Pustaka berganti nama menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku. Sedikit berbeda ketika masa pendudukan Jepang di Indonesia, karya sastra banyak digunakan sebagai alat propaganda pemerintah Jepang untuk meyakinkan rakyat Indonesia bahwa Jepang adalah pengayom, pelindung dan saudara tua. Isi karya pada saat itu mengenai tugas-tugas yang berkaitan dengan pemerintahan balatentara Nippon di Indonesia, khususnya kebencian- kebencian terhadap pemerintah Belanda dan sebaliknya. Karena pada awal kedatangan Jepang rakyat Indonesia menyambut dengan antusias. Pemerintah Jepang menjadikan banyak dari kalangan sastrawan untuk bekerja sama dengan pemerintah menghasilkan karya sastra. Sastrawan pada periode ini antara lain: Usmar Ismail, El Hakim, Rosidah Anwar, Maria Amin, Nur Syamsu, Marlupi, Munir Syamsul Ashar.

4. Angkatan 45

Angkatan 45 disepakati hampir semua penulis sejarah sastra dengan nama yang sama. Periode ini dimulai sejak zaman kemerdekaan sampai dengan 1966. Angkatan 45 disebut juga sebagai angkatan Chairil Anwar karena perjuangan Chairil Anwar sangat besar dalam melahirkan angkatan 45. Dia pula yang dianggap sebagai pelopor 45. Angkatan 45 disebut juga angkatan kemerdekaan. Sebab, dilahirkan saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Karya-karya yang lahir pada pada masa 45 sangat berbeda dengan karya sastra sebelumnya. Karya sastra angkatan ini lebih realistic disbanding karya Angkatan Pujangga Baru yang romantik ideakistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan Angkatan 45 memiliki konsep yang diberi judul “Surat Kepercayaan Gelanggang” konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan 45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Sastrawan pada periode ini antara lain: Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus.

5. Angkatan 66

Angkatan 66 adalah angkatan yang populer dan diakui hampir semua penulis sejarah sastra. Angatan ini timbul bersama terbitnya majalah Horison yang murni menerbitkan tulisan tentang sastra. Munculnya nama angkatan 66 telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah Horison Nomor 2 tahun 1966. Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa angkatan 66 lahir setelah ditumpasnya pengkhianatan G30 S/PKI. Penamaan angkatan 66 ini pun mengalami adu pendapat. Sebelum nama angkatan 66 diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manifest Kebudayaan (Mani Kebu). Alasan penamaan ini karena Manifest Kebudayaan yang telah dicetuskan pada tahun 1963 itu pernyataan tegas perumusan perlawanan terhadap penyelewengan Pancasila dan perusakan kebudayaan oleh Lekra/PKI. Beberapa sastrawan merasa keberatan dengan nama angkatan Manikebu. Mereka berpandangan bahwa sastrawan yang tidak ikut menandatangani atau mendukung Manifest Kebudayaan akan merasa tidak tercakup di dalamnya, meskipun hasil ciptaannya menunjukkan ketegasan dalam menolak ideologi yang dibawa oleh PKI dalam lapangan politik dan kebudayaan. Sastrawan pada periode ini antara lain: Taufiq Ismail, Ibrahim Satta.


DAFTAR RUJUKAN

  1. Basrowi, M. 2020. Sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Semarang: Alprin
  2. Junus, Andi Muhammad. 2016. Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
  3. Muhri. 2016. Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia. Bangkalan: Yayasan Arraudlah.
  4. Paket 1. Sejarah Kelahiran Pertumbuhan Sastra Indonesia.
  5. S, Yudiono K. 2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo.
  6. Sutarni, Sri, dkk. 2011. Bahasa Indonesia 3. Jakarta: Yudhistira Ghalia Indonesia.
  7. Varadyna, Yunida dan Ikhsan Rosyid. 2014. Karya Sastra: Antara Propaganda Pemerintah dan Media Kritik Sastrawan Masa Pendudukan Jepang 1942- 1945. Jurnal Seuneubok Lada, 1, 91-92. https://ejurnalunasm.id/index.php/jsnbl/article/view/520/378
  8. Wicaksono, Andri.2017. Pengkajian Prosa Fiksi (Edisi Revisi). Yogyakarta: Garudahwaca. 


: