Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang paling menarik tetapi pelik. Sebagai salah satu jenis sastra, puisi merupakan pernyataan sastra yang paling utama. Segala unsur seni sastra mengental dalam puisi. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan dan seni kreatif yang obyeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Bahasa puisi berbeda dengan bahasa tulisan ilmiah. Perbedaan tersebut antara lain pada puisi digunakan banyak gaya bahasa dan kata-kata yang terpilih banyak yang bermakna konotatif, sedangkan tulisan ilmiah bersifat lugas dan kata-kata yang dipilih bermakan denotatif. Meskipun bahasa puisi berbeda dengan bahasa ilmiah, namun puisi bukanlah sesuatu yang bersifat misterius yang tidak dapat diketahui maknanya. Sesuai dengan hakikat karya sastra atau karya tulis pada umumnya, penyair dalam menulis puisi bukan semata-mata bertujuan untuk kepuasan pribadinya saja, tetapi ditujukan pula untuk kepuasan orang lain (Kuswa, 2001: 112).
Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan pengindaraan dan juga untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), di samping alat kepuitisan yang lain. Gambaran-gambaran angan dalam sajak itu disebut citraan (imagery). Citraan ini ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (Altenbernd dalam Pradopo, 2005: 81).
Tujuan dari pembahasan ini yaitu (1) untuk mengetahui tentang bahasa ilmiah, sehari-hari, puisi; (2) untuk mengetahui tentang diksi; (3) untuk mengetahui tentang denotasi dan konotasi; (4) untuk mengetahui tentang pencitraan; (5) untuk mengetahui tentang retorika; (6) untuk mengetahui tentang gaya bahasa.
Seperi bahasa-bahasa lain, bahasa Indonesia mempunyai berbagai ragam bahasa. Bahasa Indonesia, menurut Lumintaintang terdiri atas ragam bahasa lisan dan bahasa tulisan, yang masing-masing terdiri atas ragam baku dan tidak baku. Dalam penyusunan karya tulis ilmiah, digunakan ragam bahasa tulis yang baku, ejaan yang baku, kata-kata dan istilah yang baku, singkatan yang baku dan struktur kalimat yang baku pula, yang dirangkai dalam paragraf secara sistematis dan masuk akal (Haryanto, dkk, 1999: 30-31).
Bahasa puisi berbeda dengan bahasa tulisan ilmiah. Perbedaan tersebut antara lain pada puisi digunakan banyak gaya bahasa dan kata-kata yang terpilih banyak yang bermakna konotatif, sedangkan tulisan ilmiah bersifat lugas dan kata-kata yang dipilih bermakan denotatif. Meskipun bahasa puisi berbeda dengan bahasa ilmiah, namun puisi bukanlah sesuatu yang bersifat misterius yang tidak dapat diketahui maknanya. Sesuai dengan hakikat karya sastra atau karya tulis pada umumnya, penyair dalam menulis puisi bukan semata-mata bertujuan untuk kepuasan pribadinya saja, tetapi ditujukan pula untuk kepuasan orang lain (Kuswa, 2021: 112).
Dari kedua paragraf diatas dapat kita pahami bahwa dalam puisi, bahasa yang digunakan tidak sama atau berlawanan dengan bahasa ilmiah. Dimana bahasa ilmiah sendiri terfokus kepada bahasa yang bersifat baku. Sedangkan dalam bahasa puisi bersifat bebas, dalam kata lain tidak terikat pada aturan dan kaidah kebahasaan yang mengikat, seperti pada bahasa ilmiah.
Pandangan umum mengatakan bahwa bahasa puisi adalah bahasa yang khas sudah menyebar luas. Bahasa puisi seorang penyair seringkali menunjukkan sebagai bahasa yang spesial, yang hanya dimanfaatkan oleh penyair. Keistimewaan bahasa puisi berbeda dengan bahasa prosa, yang lebih terurai dan longgar, bahasa puisi lebih padat sehingga memerlukan daya baca lebih dibandingkan dengan prosa (Sugihastuti, 2000: 5).
Kata-kata yang berasal dari daerah dan bahasa asing dalam sajak-sajak itu ialah: asem kawak, swak, mencang-mencong, urip, kepenak, nrimo, ik, enggak, ngebet, babe, pake, dan sebagainya. Para penyair mbeling lebih menyukai bahasa sehari-hari dan tak mau bersusah-susah memikirkan kaidah penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Memang, ada kata-kata atau ucapan yang bagi pembaca yang memiliki latar belakang bahasa daerah yang berbeda, agak sulit dipahami, tetapi penggunaan bahasa sehari-hari, bahasa yang terpengaruh oleh bahasa daerah terasa lebih akrab, lebih memasyarakat, lebih pop, dan nakal.
Widjono (2007: 98) menjelaskan bahwa, diksi merupakan ketepatan pilihan kata. Penggunaan ketepatan pilihan kata ini dipengaruhi olwh kemampuan pengguna bahasa yang terkait dengan kemampuan mengetahui, memahami, menguasai, dan menguasai, dan menggunakan sejumlah kosa kata secara aktif yang dapat mengungkapakan gagasan secara tepat sehingga mampu mengkomunikasikannya secara efektif kepada pembaca atau pendengarnya.
Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Selain itu, juga ia ingin mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu haruslah dipilih kata setepatnya. Pemilihan kata dalam sajak disebut diksi. Belfield (dalam Pradopo, 2005: 55) mengemukakan bahwa, bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajinasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis. Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik.
1. Makna Denotasi
Kata denotasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan menyebutkan, denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif (Depdiknas: 2007:558). Menurut Waridah (2013: 302) makna denotasi adalah makna suatu kata sesuai dengan konsep asalnya, tanpa mengalami perubahan makna atau penambahan makna, dan disebut pula makna lugas. Kesimpulan dari makna denotasi adalah sebuah makna yang sebenarnya dari kata tersebut dan mempunyai arti atau makna yang sama dalam kamus atau dapat disebut sebagai makna leksikal.
2. Makna Konotasi
Kata konotasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa konotasi adalah tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata; makna yang ditambahkan pada makna denotasi (Depdiknas: 2007:558). Menurut Waridah (2013: 302) makna konotasi diartikan sebagai makna suatu kata berdasarkan perasaan atau pemikiran seseorang, dapat dianggap sebagai makna denotasi yang mengalami penambahan makna, dan dapat disebut pula sebagai makna kias atau makna kontekstual. Dapat disimpulkan bahwa makna konotasi adalah makna yang tidak sebenarnya dari suatu kata atau tidak didasarkan atas kondisi kebenaran (non-truth-conditional) dan merupakan makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa dan bersifat subjektif sesuai penggunanya.
Sutarno (2019: 99) menjelaskan bahwa, pencitraan merupakan makna atau gambaran yang didapatkan melalui kata yang digunakan yang seakan-akan indra dari pembaca atau pendengar juga melakukan apa yang terdapat dalam puisi. Pencitraan dalam puisi terbagi menjadi pencitraan pendengar, penglihat, pengecap, pembau dan gerak. Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan pengindaraan dan juga untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), di samping alat kepuitisan yang lain. Gambaran-gambaran angan dalam sajak itu disebut citraan (imagery).
Citraan ini ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya, sedang seiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Ganbaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran), yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan, dan daerah-daerah otak yang berhubungan (yang bersangkutan). Berhubung dengan hal ini, arti kata harus diketahui, dan dalam hubungan ini, mungkin juga berarti bahwa orang harus dapat mengingat sebuah pengalaman indraan atas objek-objek yang disebutkan atau diterangkan (Altenbernd, dalam Pradopo, 2005: 81).
Gaya khususnya gaya bahasa dalam ilmu retorika dikenal dengan istilah style yang berakar dari kata stillus yang mempunyai arti alat yang digunakan untuk menulis pada lempeng lilin. Alat ini dipergunakan untuk mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempeng tersebut, sehingga dalam ilmu retorika style bermakna sebagai sebuah kemampuan dan keahlian untuk dapat menulis dengan menggunakan kata-kata dengan indah (Goris, 2000: 112).
Retorika berasal dari bahasa Inggris “rhetoric” dan bersumber dari perkataan Latin “rhetorica” yang berarti ilmu memiliki sifat-sifat rasional, empiris, umum dan akumulatif. Empiris berarti menyajikan fakta-fakta yang dapat diverifikasi oleh pancaindra. Umum artinya kebenaran yang disampaikan tidak bersifat rahasia dan tidak dirahasiakan karena memiliki nilai sosial. Akumulatif merupakan perkembangan dari ilmu yang sudah ada sebelumnya, yaitu penggunaan bahasa secara lisan maupun tulisan (Rajiyem, 2005: 142).
Dalam kamus bahasa Indonesia, retorika diartikan sebagai seni dalam berbicara. Dalam bahasa Inggris retorika diartikan sebagai rhetoric yang berasal dari bahasa latin yakni rethorika yang berarti ilmu berbicara atau seni dalam berbicara. Secara istilah, retorika diartikan sebagail ilmu yang mempelajari tentang kecakapan seseorang berbicara didepan massa.
Menurut Aristoteles dalam jurnal penelitian karya Abdullah terdapat 3 bagian dalam ilmu retorika yaitu: Ethos (ethical) yaitu karakter seorang komunikator (pembicara) yang dapat dilihat dari cara berkomunikasi. Pathos (emotional) yaitu perasaan emosional khalayak yang dapat difahami dengan menggunakan pendekatan “psikologi massa”. Logos (logika) yaitu pemilihan kata, kalimat atau ungkapan dari pembicara. Dari ketiga bagian tersebut Aristoteles mengungkapkan bahwa retorika merupakan seni untuk membawakan dan menyampaikan pengetahuan yang sudah ada secara meyakinkan, karena retorika harus mencari kebenaran bukan hanya mempermainkan kata-kata kosong. Retorika berfungsi untuk menyampaikan suatu pesan yang bertujuan untuk membujuk dan meyakinkan pendengarnya dengan menunjukakkan kebenaran dalam logika (Abdullah, 2009).
Menurut Hendrikus dan Dori (1991: 15), pada dasarnya retorika mempunyai beberapa bagian yaitu:
Monologika adalah ilmu yang mempelajari tentang seni dalam berbicara secara monolog. Dimana hanya ada satu orang yang berbicara seperti pidato, sambutan, ceramah maupun deklarasi.
Dialogika adalah ilmu yang mempelajari tentang seni dalam berbicara yang dilakukan dengan cara berdialog. Dimana akan terdapat dua orang atau lebih berbicara atau mengambil bagian dalam suatu proses pembicaraan seperti, diskusi, debat dan lain sebagainya.
3. Pembinaan Teknik Bicara.
Efektifitas monologika dan dialogika tergantung pada teknik bicara. Teknik bicara merupakan syarat bagi retorika. Oleh karena itu pembinaan tehnik bicara merupakan bagian yang penting dalam retorika. Dalam pembagian ini lebih diarahkan pada pembinaan teknik bernafas, teknik mengucap, bina suara, teknik membaca dan bercerita.
Gaya bahasa adalah kemampuan penyampaian gagasan seseorang yang sangat berpengaruh dalam pemakaian kata, susunan kalimat, atau estetika kalimatnya. Corak penuturan yang bersifat perorangan itu bisa disebut gaya bahasa. Oleh karena itu, gaya penuturan bahasa perorangan erat kaitannya dengan kepribadian seseorang. Pembagian jenis-jenis gaya bahasa menurut para ahli memiliki kemiripan antara ahli bahasa yang satu dengan yang lainnya. Keraf membedakan antara gaya bahasa secara nonbahasa dan secara bahasa. Dari segi nonbahasa dapat dibagi menjadi tujuh, yaitu (1) berdasarkan pengaruh; (2) massa; (3) media; (4) subyek; (5) tempat; (6) hadirin; dan, (7) tujuan. Dilihat dari sudut pandang bahasa, gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang digunakan, yaitu gaya bahasa, pilihan kata, nada yang terkandung dalam wacana, struktur kalimat, dan langsung tidaknya makna.
Terkait macam-macam gaya bahasa yang berasal dari struktur kalimat yang dideskripsikan sebagai berikut. Ada bermacam-macam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan struktur kalimat. Satu di antara gaya bahasa yang banyak digunakan adalah bentuk pengulangan, baik yang berupa pengulangan kata, bentukan kata, frasa, kalimat ataupun bentuk-bentuk yang lain, misalnya gaya bahasa repetisi, paralelisme, anafora, polisindenton, dan gaya bahasa asindenton, sedangkan bentuk-bentuk yang lain misalnya antitesis, aliterasi, klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris.
Tiap pengarang itu mempunyai gaya bahasa sendiri. Hal ini sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-masing pengarang. Gaya (termasuk gaya bahasa) merupakan cap seorang pengarang. Gaya itu merupakan idiosyncrasy (keistimewaan, kekhuasusan) seorang penulis kata Middleton Mury, begitu juga kata Buffon, gaya itu adalah orangnya sendiri. Meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam melahirkan pikiran, namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk ini biasa disebut sarana retorika (Pradopo, 2005: 94).
Menurut Keraf (1991: 112), gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan, yakni pilihan kata (diksi), frasa, klausa, dan kalimat, serta wacana. Senada dengan itu, Pradopo (dalam Susanti, 2020: 7) menyatakan bahwa unsur-unsur gaya bahasa itu meliputi: (1) intonasi, (2) bunyi, (3) kata, (4) kalimat, dan (5) wacana.
Macam-Macam gaya Bahasa:
1. Gaya bahasa (majas) penegasan
a. Majas Pleonasme
Adalah gaya bahasa yang dipakai untuk memperjelas maksud denganmenggunakan kata berulang dan maknanya sudah dikandung oleh kata yang mendahului.
b. Majas Hiperbola
Adalah gaya bahasa yang dipakai untuk melukiskan keadaan secara berlebihan.
Contoh: Anak itu berlari sangat cepat bagai kilat
Dipakai untuk melukiskan hal sekecil-kecilnya utnuk merendahkan diri.
Contoh: Terimalah pemberianku yang tidak berharga ini.
d. Majas Repetisi
Adalah gaya bahasa mengulang kata-kata tertentu beberapa kali. Gaya ini sering digunakandalam berpidato.
Contoh: Jangan ragu-ragu Saudara, selama matahari masih beredar, selama bulan masih bersinardan selama hayat masih dikandung badan saya akan memperjuangkan hak rakyat.
Adalah gaya bahasa yang menggunakan sesuatu secara berturut-turut makin lama makin memuncak.
Contoh: Jangankan seratus ribu, lima ratus ribu atau satu juta, satu miliar pun kalau dijual akanaku beli.
f. Majas Antiklimaks
Contoh: Apalagi setahun, sebulan atau semingu, sehari saja dia tidak akan meninggalkanmu.
Adalah gaya bahasa yang melukiskan beberapa hal secara terurai tanpa menggunakan katapenghubung.
h. Majas Polisindenton
Adalah gaya bahasa yang menyebutkan beberapa hal dengan menggunakan kata penghubung.
Contoh: Sebelum berangkat ke sekolah pagi itu, saya menyapu lantai dan mengepelnyakemudian saya mandi dan sarapan pagi.
Adalah gaya bahasa yang menyebutkan sesuatu yang slah, kemudian dibetulkan agar menarik.
Contoh: Kemarin sore... eh maaf tadi amalam wanita itu datang di pondoknya.
Adalah gaya bahasa yang menggunakan sisipan kata atau frase di tengah-tengah kalimat untuk menegaskan maksud.
2. Gaya bahasa (majas) perbandingan
a. Majas Metafora
Adalah gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lain secara langsung. Biasanya disertai kata-kata: seperti, bagaikan dan bak.
Contoh: Suaranya bening bagaikan buluh perindu.
b. Majas Personifikasi
Adalah gaya bahasa yang melukiskan benda mati yang diungkapka seperti manusia.
c. Majas Tropen
Adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang tepat dan sejajar dengan pengertian yang dimaksud.
d. Majas Metonimia
Contoh: Belikan saya sebungkus Gudang Garam di warung.
Gaya bahasa ini terdiri atas dua macam yaitu:
f. Majas Eufemisme
Adalah gaya bahasa yang menggantikan kata yang lebih halus sehinga lebih sopan.
3. Gaya bahasa (majas) sindiran
Adalah gaya bahasa sindiran yang paling halus. Kadang yang disindir sampai tidak terasa. Gaya bahasa ini dipakai dengan cara menggunakan kata-kata yang mengandung arti kebalikan yangdimaksud.
Adalah gaya bahasa sindiran yang agak kasar. Contoh: Dengan jarang mengikuti pelajaran, semog kau lulus dengan nilai terbaik.
Adalah gaya bahasa sindiran yang paling kasar sehingga sangat menyakitkan hati bagi orangyang disindir.
d. Majas Alusio
Adalah gaya bahasa sindiran yang menggunakan peribahasa atau ungkapan yang sudah lazim.
Contoh: Anda ini senang kura-kura dalam perahu, bukanlah sudah gaharu cendana pula. (pura-pura tidak tahu, bertanya pula).
a. Majas Paradoks
Contoh: Sedih-gembira, berat-ringan harus kita hadapai dengan bersera kepada Allah SWT.
- Abdullah. 2009. Retorika dan Dakwah Islam, Vol.10. No. 1.
- Denny J.A. 2018. Merisik Jalan ke Percut. Cerah Budaya Indonesia.
- Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ernawati Waridah. 2013. EYD Ejaan yang Disempurnakan & Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Bandung: Ruang Kata.
- Goris, Keraf. 2000. Baya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
- Haryanto dkk. 1999. Metode Penulisan dan penyajian karya Ilmiah: Buku Ajar untuk Mahasiswa. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
- Hendrikus dan Dori Wuwur. 1991. Retorika. Yogyakarta: Kanisius.
- Kuswa Endah. 2001. Estetika dan Penyimpangan Bahasa dalam Puisi Jawa Tradisional, Diksi, Vol. 8 No. 19.
- Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Rachmat Djoko Pradopo. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Strukturat dan semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Rajiyem. 2005. Sejaran dan Perkembangan Retorika, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Vol. 17, No. 2.
- Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty. Bandung: Nuansa Cendekia.
- Susanti. 2020. Gaya Bahasa Secara Umum dan Gaya Bahasa Pembungkus Pikiran.
- Sutarno. 2019. Cermat Berbahasa Indonesia: Suplemen Materi Bahasa Indonesia Untuk Kelas X. Sukabumi: CV jejak.
- Widjono. 2007. Bahasa Indonesia: Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
: