Burung gereja berkicau ditepi atap beton. Bergemuruh saling saut menyaut bersenda gurau bersama rekan sepenerbangan. Saling dorong-mendorong diketinggian gedung lantai lima. Tak takut menatap ke bawah, senyum lebar diparuh tanpa beban kehidupan yang rapuh. Bersemayam jiwa yang kokoh dalam diri burung gereja yang mendayu riuh tak terbendung. Kegaduhan burung gereja menyambut mentari yang akan terlelap dibalik gedung tinggi perkantoran. Bergantian jaga dengan bulan yang begitu merona. Nampaknya kesenangan dan kegirangan burung gereja tak seperti laki-laki yang berlari dari gerbang layaknya olimpiade cabang lari maraton yang ketika hampir menuju garis finish lari sekencang mungkin. Iyaa, itu Setya dengan wajah kusam, kusut layaknya pel yang belum dicuci. Entah apa yang akan dilakukan Setya, kenapa dia berlari? Ada apakah ini? Masalah apa yang melanda Setya? Pasti penasaran kan yaa,, kita simak saja apa yang dilakukan olehnya sore itu.
Sore itu pukul 15.00 Setya pergi kekampus untuk menemui kepala jurusan. Dia ingin meminta tanda tangan untuk melengkapi berkas administrasi pengajuan beasiswa. Hari itu memang tidak ada mata kuliah, alias, libur. Entah motivasi apa Setya ingin mengajukan beasiswa itu. Jika kita lihat dari segi historis dan perjalanan karirnya dalam dunia pendidikan, yaa kita tahu sendiri lah ya, sungguh suram dan tidak meyakinkan, serta tak terlihat aura akademis pada diri Setya. Tapi semua itu tidak ada yang tahu. Pola pikiran Setya tidak ada yang bisa menebak. Yang membuat bingung itu keahlian apa atau prestasi apa yang ingin diajukan itu yang suram dan tidak ada yang tahu.
Setya tiba dilobi gedung fakultasnya dengan nafas terengah-engah. Mulut terbuka layaknya ikan cupang. Nafasnya cepat seperti cerobong asap kereta api tua. Serta bau mulut seperti terasi udang yang baru kering dijemur. Memang sebelumnya Setya habis makan sambal terasi dan lupa sikat gigi, sampai-sampai ada sisa cabai menempel dimulutnya. Ia menuju ke lift dan hendak keruangan kepala jurusan. Kebetulan ruangan kepala jurusan berada dilantai empat gedung itu. Beruntung lift itu tidak ada yang mengantri untuk menggunakannnya, dan tidak ada cewek yang seenaknya nyerobot begitu saja. Setya begitu khusuknya menikmati perjalanan dan pemandangan yang ada di lift. Ia menatap kearah kanan, kiri, belakang dan nampak pemandangan yang tak asing baginya. Iyaa,,, pemandangan itu tak lain tak bukan adalah wajah Setya itu sendiri, hal itu sontak membuat Setya kepedean.
“astaghfirullah, siapa nih orang” ucap Setya sambil menatap wajahnya yang nampak pantulan dinding lift.
Setya yang terus kepedean dan terus membanggakan diri itu tiba-tiba tersadar kalau sekarang sudah sore dan takutnya kepala jurusan keburu pulang. Sontak saja Setya memaki lift yang tak ada dosa dan tak salah apa-apa.
“gila nih lift, gak pernah di upgrade apa!! Lemot amat.”
“Ayo dong aahh,”
Setya yang terus-terusan mengeluh itu melihat keterangan yang ada di lift yang menunnjukkan lantai tiga, dan lift tiba-tiba berhenti dilantai itu dan pintupun terbuka. Nampaknya ada orang lain yang juga ingin menggunakan lift itu dan menunggunya di lantai tiga.
Waktu menunjukkan pukul 15.15, matahari nampak melingsir kebarat dan akan terlelap dibalik tingginya gedung perkantoran. Sorot jingga mulai nampak diufuk barat. Nampak eksotis sore itu dipandang. Sorot sinar jingga menembus celah jendela yang terbuka, menganga begitu lebar. Seduh indah dipandang. Sinarnya menembus lorong yang begitu sunyi dan gelap. Nampak luar burung gereja menari beterbangan bersama pasangan. Senandung dan bercuit bersama. Layaknya sejoli diwaktu sore berjalan menyusuri jalan beralas aspal. Bergenggaman tangan layaknya orang mau nyeberang. Iyaa, itulah yang dilakukan burung gereja sore itu. Bersenandung riang menyambut tidurnya surya. Mesra tak ada beban yang dipikul. Terus menikmati masa selagi belum tiba sunyinya malam. Senandung burung gereja yang bergemuruh mesra, bercumbu, merayu, merangkul, merasa. Mereka terus menari diketinggan gedung perkantoran. Menari-nari memamerkan kebebasan dan kemesraan sejoli yang berpadu kasih. Burung gereja saling cuit-mencuit sambung-menyambung memecah kegaduhan perkotaan.
Nampaknya kesenandungan burung gereja tak membuat Setya terpana. Setelah tiba dilantai empat dan lift terbuka. Ia langsung berlari ke ruang jurusan untuk meminta tanda tangan kepala jurusan. Dia terus berlari disepanjang lorong yang sunyi dan ditemani sinar mentari yang menembus kaca jendela dengan penuh mesra. Ia terus berlari, dan sampailah ia keruangan kepala jurusan dan masuk begitu saja tanpa permisi. Setelah masuk ternyata semua yang ada didalam ruangan nampak asing bagi Setya. Bagaiamana tidak asing? Dia masuk kedalam ruangan jurusan lain, bukan ruang kepala jurusan Sastra. Haduhhh Setya, malu-maluin aja! Dia hanya bisa senyum-senyum sendiri sambil dilihatin para dosen dan staf jurusan yang ada di ruangan itu. Ya sontak saja Setya merasa malu dan langsung keluar dari ruangan itu.
Sebenarnya tidak pindah sih, tapi emang Setya baru pertama kali ini pergi ke ruangan kepala jurusan. Dan yaa kebiasaannya buat ngeles biar nggak malu. Kemudian ia melihat petunjuk arah yang ada digedung itu, dimana ruang kepala jurusannya berada di sebelah barat dari lift yang Setya gunakan tadi. Tapi Setya malah pergi ke arah timur. Sontak saja Setya kemudian bergegas lari ke barat layaknya Son Gokong yang mencari kitap suci. Dia berlari dengan penuh mesra menembus lorong, dimana mentari jingga mulai redup tertutup gedung perkantoran. Dia terus berlari dengan penuh penghayatan. Kemudian dia tiba-tiba berhenti didepan sebuah ruangan. Ruangan itu terdapat Bunga yang sedang bernyanyi. Suaranya indah, layaknya burung gereja yang bersautan sore itu. Setya terpaku melongo melihat Bunga yang bernyanyi. Entah apa yang dirasakan Setya, dia begitu terpaku, terdiam, sepi membisu. Nampaknya Bunga mengetahui kehadiran Setya yang melihatnya. Bunga juga memandang Setya meski hanya sekilas, sebab waktu itu Bunga sedang mengikuti seleksi UKM musik yang ada dikampusnya.
Waktu yang semakin sore. Sorot mentari yang semakin menjingga dan redup membuat Setya sadar pada tujuanannya, yaitu menemui kepala jurusan.
Setya kembali berlari ke ruangan kepala jurusan dan tibalah ia didepan pintu.
“tok, tok, tok. Permisi” salam Setya sembari mengetuk pintu.
Setya masuk ke dalam ruangan yang dimana terdapat staf dan dosen-dosen lainnya, termasuk dosen yang pernah memarahi Setya waktu terlambat masuk kelas tempo hari. Dosen itu entah punya dendam apa kepada Setya, langsung mengajukan pertanyaan kepada Setya.
“kamu lagi,.. ada perlu apa kesini?” Tanya Bu Siti dengan ketusnya
“mohon maaf Bu, apakah kepala jurusan ada?”
“mau apa mencari kepala jurusan?”
Dalam hati Setya bergumam “ini orang tanya apa wawancara sihh, kepo amat”
“kepala jurusan tidak ada, beliau sedang keluar kota”
Sontak saja ada sesuatu yang membuatnya sakit tapi tak berdarah mendengar pernyataan itu. Gimana tidak, sudah berlari kesana kemari. Sampai salah masuk ruangan, dan melewatkan keindahan alam dari suara Bunga yang bernyanyi. Setelah sampai di ruangan kepala jurusan ternyata zonk. Ya mau gimana lagi, begitulah kenyataannya. Setelah mengetahui hal itu, Setya keluar dari ruangan itu
“Ohh, jadi begitu..Terima Kasih Pak, Bu.......Permisi”
Di lorong Setya mengupat dan jengkel dengan sepenuh hati dan penuh penghayatan. Nampaknya kejengkelan Setya membuat mentari semakin cepat melingsir kebarat dan bergegas bersembunyi dibalik gedung tinggi. Waktu menunjukkan puku 16.00. lorong semakin sunyi, gelap. Mentari sudah tak ingin menembus jendela gedung, karena tak ingin terkena imbas dari kejengkelan Setya. Tapi dengan mentari yang tak menembus jendela, membuat lorong itu menjadi menyeramkan. Di tambah Setya merupakan orang yang penakut. Tiba-tiba terdengar jejak kaki dari belakang. Setya semakin merinding, ditambah waktu itu menjelang surup. Setya berusaha menahan rasa takutannya. Tiba-tiba...................................
“kltoookkkkkkkkk”
Terdengar suara benda jatuh. Setya langsung bergegas lari terbirit-birit dan tak menengok kebelakang. Setya berlari menyusuri lorong yang sunyi dan gelap. Sepertinya Setya memiliki bakat menjadi pelari ya. Tanpa dia lihat ke belakang yang ternyata petugas kebersihanlah yang tak sengaja menjatuhkan sapu ke lantai yang membuat Setya lari. Petugas kebersihan itu merasa heran dengan Setya dan hanya bisa melihatnya saja dengan penuh kebingungan.
Setya berlari dan tak sengaja menabrak Bunga yang baru keluar dari ruangan tempat ia mengikuti seleksi.
“brukk,,” mereka berdua terjatuh
“aduh”
“ehhh maaf-maaf nggak sengaja” ucap Setya
“ya maaf, lahhh”
Kalau dipikir-pikir, memang ada benarnya juga sih, kata Bunga. Sejak awal ketemu waktu Ospek, Setya yang nabrak Bunga. Kemudian didepan lift gantian Bunga yang nabrak Setya. Dan sekarang Setya lagi yang nabrak Bunga. Apakah ada sesi tabrak-menabrak lagi? Tidak tahu lah ya.
“kenapa lari-larian?” tanya Bunga
“tadi buat pemanasan aja, olahraga biasa.” Jawab Setya yang berusaha ngeles dari pertanyaan Bunga.
“haa,?? Olahraga?
“ya gitu deh, eh ngapain kamu tadi? Tanya Setya kepada Bunga
“Ooh, itu, habis seleksi ikut UKM musik, kebetulan membutuhkan personil bagian vokal”
“Ooh, gitu”
“nah kamu lari-larian habis dari mana? Tadi sempet liat kamu sih!”
“nah tadi tuh aku pergi keruangan kepala jurusan buat minta tanda tangan, udah lari kayak pelari maraton, nafas udah kayak knalpot bemo, dan tadi sempet salah masuk ruangan, eehhh tau-taunya, kepala jurusan tidak ada, sedang keluar kota” curhat Setya
“habis ini mau ngapain, langsung balik atau gimana?” tanya Bunga
“yaudah, kebetulan aku juga mau balik, anterin yaa, gak berani sendiri soalnya”
“Hmmmmm, yaudah deh, ayokk”
Mereka berjalan berdampingan menyusuri lorong yang saat itu tak lagi gelap, lampu gedung sudah dinyalakan dengan terang. Mereka turun ke lantai bawah menggunakan lift. Lift yang sama, yang membuat mereka bertemu untuk yang kesekian kalinya pada minggu ini. Dua sejoli itu bercanda dan bersenda gurau didalam lift, entah membicarakan soal apa, dan tentang apa. Yang jelas waktu itu mentari benar-benar bersembunyi dan terlelap dibalik tingginya gedung perkantoran. Serta burung gereja yang tadinya beterbangan sudah kembali ke kedalam sarang, dan tak lagi terdengar cuitan meski hanya sekali. Nampak bulan yang mulai menggantikan peran matahari yang mulai terlelap. Ia muncul di balik gedung sebelah barat dengan begitu anggunnya. Seakan-akan menemani dua sejoli yang sedang bersama pada malam yang dingin. Di temani butiran bintang yang berkedip. Mengisyaratkan bahwa malam itu cerah. Dan secerah hati dua sejoli yang bagaikan dua burung gereja yang tadi sore bercuit saling bersenandung berbagi kebahagiaan.
: