Novel ini menceritakan tentang suatu wilayah yang masih memegang teguh nilai adat dan minim akan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pada suatu daerah perdukuhan dimana dukuh tersebut masih memegang tinggi nilai nenek moyang. Nilai nenek moyang ditanamkan sedari kecil. Pada novel ini diceritakan mengenai adanya seorang ronggeng yang masih kecil, dia bernama Srintil. Srintil masih kecil dan sudah mewarisi bakat menjadi seorang peronggeng. Bakat tersebut dapat dilihat dari sukanya Srintil menari ronggeng jika mendengar suara calung dan gendang sembari menggoyang-goyangkan pinggulnya layaknya peronggeng yang merayu dan menggugah birahi kaum laki-laki.
Srintil memiliki seorang teman laki-laki yang bernama Rasus. Rasus sering sekali melihat Srintil menari, bahkan ia juga sering mengiringi Srintil menari dengan menirukan suara calung dan gendang bersama teman-teman lainnya saat bermain yang kemudian oleh Srintil diberi imbalan berupa ciuman. Nampaknya bakat Srintil diketahui oleh kakeknya yang bernama Sakarya. Sakarya orang yang mengasuh Srintil sedari kecil karena ditinggal mati oleh kedua orang tuanya karena pernah terjadi kejadian yang mengenaskan pada masa lalu, dimana kejadian tersebut memakan banyak korban jiwa. Kejadian tersebut dikarenakan keracunan tempe bongkre yang dibuat oleh orangtua Srintil, yang mengakibatkan keracunan kemudian mati, termasuk orang tua Srintil.
Sakarya yang mengetahui bakat yang dimiliki oleh cucunya tersebut, sontak saja ia memberitahukan hal tersebut kepada Kartareja selaku dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Awalanya Kartareja tidak percaya kalau Srintil memiliki bakat ronggeng karena Srintil masih kecil. Namun setelah ia melihat langsung, barulah Kartareja percaya dan ingin melatihnya menjadi ronggeng yang terkenal. Hal itu ia percayai bahwa Srintil menjadi orang yang dipilih dan mendapat inang dari arwah Ki Secamenggala selaku nenek moyang kampung tersebut. Dukuh Paruk tanpa adanya ronggeng akan kurang lengkap jadinya, sebab hal tersebut sudah menjadi kepercayaan turun-temurun di dukuh tersebut.
Semakin terkenalnya Srintil, Kartareja kemudian ingin mengadakan upacara terakhir bagi seorang peronggeng yang bernama bukak kelambu, dimana upacara tersebut mengharuskan bagi seorang peronggeng melepas keperawanannya kepada laki-laki yang memenangkan sayembara dengan persyaratan berupa sekeping uang ringgit emas. Nampaknya kabar tersebut tersebar sampai keluar kampung. Sayembara tersebut dimenankan oleh Dower, perjaka asal Pecikala dengan memberikan seekor kerbau dan dua keping perak yang nilainya cukup bahkan lebih dari cukup dari sekeping ringgit emas. Sebenarnya ada pemuda penjudi bernama Sulam yang memenuhi persyaratan yang diberikan oleh Kartareja dengan membawa sekeping ringgit emas, tapi dengan kelicikan dan kecerdikan dari Nyi Kartareja hal tersebut dapat diakali. Nyi Kartareja menyiasati mereka dengam menyediakan dua botol ciu, akan tetapi salah satu botol berisi air biasa. Kedua botol tersebut disuguhkan kepada kedua pemuda tersebut, dimana Dower mendapatkan botol air biasa sedangkan Sulam mendapatkan botol yang berisi ciu yang mengakibatkannya mabuk dan tertidur. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Nyi Kartareja dan menyuruh Dower untuk masuk ke kamar Srintil untuk memenangkan sayembara tersebut. Setelah Dower selesai dan pergi, kemudian Sulam terbangun dan Nyi Kartareja mengatakan bahwa Sulam yang memenangkan sayembara dan pergi ke kamar Srintil untuk memenangkannya.
Kejadian tersebut membuat Rasus terpukul dan pergi dari dukuh tersebut. Ia pergi ke pasar Dawuan dan bekerja disana sembari mendengarkan berita dari mulut kemulut tentang Dukuh Paruk. Pasar tersebut nampaknya sering terjadi kejahatan yang mengharuskan tentara untuk turun berpatroli di pasar tersebut. Pasukan tentara tersebut ipimpin oleh Sersan Slamet, dan ia sering bertemu dengan Rasus bahkan mengenalnya. Rasus yang jujur dan memiliki tenaga yang kuat, membuat Sersan Slamet menaruh percayaan kepadanya dan menjadikannya sebagai seorang tobang tentara. Hal itu membuat Rasus senang, sebab ia merupakan orang pertama dari Dukuh Paruk yang menjadi seorang tentara meski tidak memegang senjata.
Adanya pasukan tentara yang berjaga di daerah tersebut nampaknya belum membuat daerah tersebut menjadi aman dari perampok. Suatu malam bersama Kopral Pujo, Rasus mendapat bagian untuk berpatroli ke Dukuh Paruk. Ternyata perampok tersebut berada dikampung itu yan berjumlah lima orang dan bersenjata. Melihat hal tersebut, Kopral Pujo dan Rasus berbagi tugas, Kopral Pujo kembali ke pos untuk memanggil pasukan, sedangkan Rasus mengamati dan mengikuti kelima perampok. Nampaknya perampok tersebut menuju ke rumah Sakarya dan menanyakan keberadaan Srintil si peronggeng, namun Srintil tidak ada disana kemudian perampok itu merampok rumah Sakarya dan memukulnya sampai pingsan. Kemudian perampok itu pergi ke rumah Kartareja tempat Srintil tinggal. Perampok itu membagi tugas, ada yang didalam rumah dan ada yang berjaga. Rasus yang kala itu terus mengamati, disaat ada kesempatan ia mengambil sesuatu yang ada disekitarnya yang kebetulan dia mengambil gagang pacul yang kemudian dihantamkannya dari belakang yang mengakibatkan salah seorang perampok tewas. Rasus mengambil senjata yang digunakan oleh perampok yang telah ia bunuh dan digunakannya untuk membunuh yang keduakalinya.
Nampaknya Kopral Pujo telah kembali bersama Sersan Slamet beserta anak buahnya. Kedatangan mereka dapat menggagalkan rencana perampokan malam itu yang mengakibatkan satu orang melarikan diri dan yang lainnya terbunuh. Kemudian Sersan Slamet mengajak Rasus untuk melihat rumah Kartareja yang membuat warga dukuh itu kaget karena Rasus si bocah Dukuh Paruk sekarang menjadi seorang tentara yang gagah. Srintil terbelalak melihat Rasus memegang bedil. Kemudian Rasus pergi kerumah neneknya untuk menemuinya, karena sudah lama ia meninggalkannya dan diikuti oleh Srintil. Rasus menginap semalam disana, dan kemudian keesokannya kembali kesatuan yang dipimpin oleh Sersan Slamet. Kepergian Rasus dicegah oleh Srintil dan memintanya untuk tinggal disana dan membangun rumah tangga bersama Srintil, akan tetapi Rasus menolak dan tetap kembali kesatuannya, sebab dengan begitu Dukuh Paruk tidak kehilangan ronggengnya yang sudah menjadi ciri khas dan jati diri dari Dukuh Paruk.
: