Filsafat diawali dengan banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pikiran seseorang. Dari adanya sekumpulan pertanyaan itulah akhirnya manusia mulai berfikir, berobservasi dan merenungkan jawabannya. Sehingga akhirnya dikemukakannya berbagai macam pendapat falsafi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun sejarawan memberi kita jawaban yang berbeda untuk setiap pertanyaan. Maka lebih mudah untuk mengajukan pertanyaan filosifis daripada menjawabnya. Dengan lahirnya filsafat pasti tidak akan lepas dari para tokoh yang mengemukakan berbagai pemikiran-pemikirannya. Pemikiran-pemikiran itu menjadikan seseorang untuk menggunakan akal pikiran untuk berfikir lebih dalam untuk menggali ilmu pengetahuan yang bermanfaat bahkan digunakan hingga kini. Para filsuf pertama berkompetensi satu sama lain dalam penawaran argumen kompleks yang memperjuangkan landasan pendekatan lawan mereka. Perkembangan filsafat Yunani dalam pertengahan abad ke-5 SM, di zaman yang sama itu terdapat aliran sofistik yang tidak bersahabat dengan filsafat sokrates, meskipun mereka membicarakan obyek yang sama, yaitu manusia. Manusia menjadi obyek pertama dan utama untuk penyelidikan filsafat pada zaman itu. Oleh karenanya pada artikel ini membahas mengenai (1) latar belakang lahirnya kaum Sofis; (2)pemikiran Gorgias tentang filsafat; (3) sejarah hidup Sokrates; (4) pendapat Plato mengenai filsafat; (5) dasar pemikiran Aristoteles tentang filsafat; (6) Hellenisme dan Romawi.
Kaum Sofis
Periode filsafat Pra-Sokratik berakhir dengan kemunculan kaum Sofis. Walaupun filsafat alam, dan idealisme Elea belum mampu memuaskan hasrat intelektual manusia, akan tetapi kedua mazhab filsafat tersebut mampu membantu kelahiran aliran baru filsafat, yaitu skeptisisme. Benih-benih ajaran skeptik dapat terlihat pada karya-karya filsuf awal tersebut. Ajaran Heraklitos yang mana menolak keajegan, dan memandang segala sesuatu merupakan perubahan dan filsafat Elea yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang berasal dari pengalaman merupakan bentuk pengetahuan yang keliru, yang akan tetapi kekeliruan itu justru membantu kita untuk melawan kebenaran mutlak yang menindas alam bawah sadar kita, karena seluruh pemikiran manusia tidak lebih dari sekedar kekeliruan belaka. Pemikiran manusia tidak akan menggapai kondisi ‘ada’ (to on) yang sejati, karena ‘ada’ yang sejati itu sendiri tidak ada. Ketika dihadapkan pada situasi pemikiran seperti ini, adalah masuk akal jika kita memilih untuk menjadi skeptis.[1]
Pandangan tentang ketiadaan kebenaran yang mutlak inilah yang menjadi dasar bagi pemikiran kaum Sofis. Pengajaran filsafat mereka tidak lebih dari sekedar skeptisisme naif. Kaum Sofis tidak percaya akan keberadaan ‘ada’ ultima, dan kemudian menyerang kelompok yang mempercayainya. Di bawah pengaruh skeptisisme naif, kaum Sofis bukan saja menolak kebenaran mutlak bagi diri mereka sendiri (seperti penganut Pyrrhonisme dikemudian hari), tetapi kaum Sofis juga menggunakan dasar pemikiran ini untuk melegitimasi tindakan-tindakan amoral mereka di zaman itu. Kaum Sofis dengan berani mengungkapkan pandangan mereka tentang kebenaran kepada publik, dan berusaha mempengaruhi mereka dengan pandangan yang bersifat Sofistik, yang mana menyatakan bahwa pencarian kebenaran ala filsafat klasik merupakan kegiatan yang sia-sia. Ketika kebenaran mutlak bukanlah suatu kenyataan, maka moralitas, keadilan, dan agama akan kehilangan legitimasinya, dan karenanya harus segera ditanggalkan.
Penyebab langsung yang berkontribusi pada kejayaan kaum Sofis berkaitan dengan stabilnya sistem demokrasi Athena ketika itu. Sistem demokrasi Athena turut serta mengembangkan retorika sebagai seni berbicara. Pidato kemudian dianggap hanya sekedar ekspresi pikiran sang orator dengan menekankan pada bentuk, bukan pada substansinya. Pidato kemudian menjadi semacam seni berbahasa yang di desain untuk mengimpresi pendengar dengan penekanan pada kemegahan kata-kata belaka, dan hal ini digunakan untuk menarik perhatian warga negara Athena untuk mencapai kesepakatan pada putusan yang diinginkan oleh sang orator. Pada bidang inilah kemudian profesi para Sofis nampak penting. Kaum Sofis merupakan pendiri sekolah retorika, tempat dimana para pemuda kaya Athena belajar seni berpidato.
Demikian kiranya pandangan kaum Sofis tentang filsafat. Dalam kacamata kaum Sofis, kebenaran objektif bukanlah sesuatu yang penting.[2] Kaum Sofis menempatkan kebenaran atau kesalahan secara manasuka agar mereka dapat menarik perhatian pendengar, sehingga pendengar dapat dipengaruhi argumen mereka. Kaum Sofis akan mempraktikan secara langsung skeptisisme naif sebagai landasan profesi mereka. Sebagai pembelaan, mereka akan mengatakan premis, bahwa tidak ada sama sekali yang disebut sebagai kebenaran objektif, karenanya segala bentuk kebenaran lantas bersifat individual, dan untuk sementara dapat dikatakan bahwa kebutuhan individu merupakan kebenaran itu sendiri.
Kaum Sofis melakukan perjalanan dari kota ke kota, dan mengiklankan diri mereka sebagai pemikir profesional, lalu menawarkan pengetahuan mereka untuk di jual. Meskipun sebagaimana sama-sama kita ketahui, bahwa pandangan peradaban barat (yang bertumpu pada rasionalitas) sangatlah buruk terhadap Sofis (dalam bahasa Inggris kata sophist berarti seorang licik yang pandai memutarbalikkan fakta), mereka juga menyumbangkan banyak hal yang menjadi fondasi peradaban saat ini. Pengalaman kaum Sofis dalam mendidik para politisi, membuat mereka berjasa dalam mengembangkan ilmu tata bahasa, dan logika. Mereka juga mengembangkan seni retorika, dan metode ilmiah yang pengaruhnya masih terasa hingga kini. Kita juga berhutang budi pada kaum Sofis, yang mana mereka juga turut berpartisipasi dalam kemajuan ilmu pengetahuan empiris. Sebagai politisi (atau setidaknya pendidik politisi), kaum Sofis tentunya juga wajib memiliki perbendaharaan pengetahuan yang luas terkait sejarah, dan mengenal seluk-beluk berbagai bentuk pemerintahan. Melalui kaum Sofis, kita seringkali berkenalan dengan aneka ragam kesenian, dan syair-syair kuno. Kebanyakan kaum Sofis juga mempelajari ilmu alam. aritmatika, geometri, astronomi, dan musik merupakan perihal yang akrab bagi mereka. Sistem mnemoniks (seni mengingat) pertama kali dikembangkan oleh para Sofis. Akan tetapi, seluruh sumbangsih berarti dari kaum Sofis dalam berbagai cabang ilmu ini, menurut pandangan filsafat modern, tidaklah berarti ketimbang pengaruh buruk mereka dalam filsafat. Beberapa kaum Sofis yang berpengaruh, antara lain adalah Protagoras dari Abdera, Gorgias dari Leontini, Hippias dari Elis, dan Prodikhos dari Keos.[3]
Gorgias
Gorgias lahir di Leontini, Sisilia. Gorgias hidup sejaman dengan Sokrates. Sekitar tahun 427 SM, ia tiba di Athena sebagai duta besar dari kota kelahirannya dalam rangka meminta bantuan kepada polisi Athena untuk mendukung pertempuran kotanya melawan Syrakusa. Belakangan ini, ia memperoleh ketenaran akibat kesuksesan pengajaran pidatonya. Baginya, pidato tidak lebih dari sekedar seni mempersuasi. Ia mencemooh guru yang mengajarkan keutamaan hidup. Gagasan utama dalam karyanya, Peri Tou Mê Ontos ê Peri Phuseos, dapat ditemukan dalam risalah Aristoteles (yang dikumpulkan kembali oleh Andronikos), De Melisso, Xenophane, et Gorgia.
Maksudnya, realitas itu sebenarnya tidak ada. Bukankah zeno juga pernah sampai pada kesimpulan bahwa hasil pemikiran itu selalu tiba pada paradoks. Kita harus mengatakan bahwa realitas itu tunggal dan banyak, terbatas dan tak terbatas, dicipta dan tak tercipta. Karena konstradiksi tidak dapat diterima, maka menurut Gorgias, pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang relitas.
Ini disebabkan oleh penginderaan itu tidak data dipercaya, penginderaan itu sumber ilusi.
3. Ketiga, seandainya sesuatu dapat dikenal, maka pengetahuan tersebut tidak dapat disampaikan kepada orang lain.
Disini ia memperlihatkan kekurangan bahasa untuk mengomunikasikan pengetahuan kita itu. Semantik modern mengatakan bahwa kata-kata tidak mempunyai pengertian absolut, kata-kata hanya mempunyai pengertian yang relatif.
Socrates
Socrates adalah seorang penganut moral yang absolut dan meyakini bahwa menegakkan moral merupakan tugas filosof. Kehidupan Socrates berada di tengah-tengah keruntuhan imperium Athena. Pemuda-pemuda Athena pada masa ini dipimpin oleh doktrin dari kaum Sofis. Kaum Sofis adalah pembawa perubahan terhadap corak pemikiran yang semula terarah pada kosmos, menjadi corak berpikir filsafati yang terarah pada teori pengetahuan dan etika. Kekacauan mulai timbul pada saat kaum Sofis memberikan kriteria yang berbeda tentang dasar-dasar teori pengetahuan dan etika.
Dalam situasi itulah Socrates tampil untuk menghadapi kaum Sofis. Metode yang digunakan Socrates tampil menghadapi kaum Sofis adalah dialektik-kritis. Dengan memakai metode dialek-ktitis ini Socrates berhasil mengalahkan kaum Sofis dalam banyak perdebatan yang mereka lakukan. Tujuan utama Socrates adalah menjernihkan berbagai pengertian yang selama ini dikacaukan oleh kaum Sofis, dengan kata lain, metode dialek-kritis yang dipakai Socrates itu dimaksudkan untuk menyembuhkan kekacauan yang terjadi dalam arena filsafat pada masa itu, yang ditimbulkan oleh kaum Sofis. Kubu Socrates semakin kuat. Orang Sofis semakin kehabisan pengikut. Orang Sofis kalap, menuduh Socrates merusak mental pemuda dan menolak tuhan-tuhan. Socrates di adili oleh hakim Athena. Ia dijatuhi hukuman mati. Seandainya Socrates memilih hukuman di buang ke luar kota, tentu hukuman itu akan diterima oleh hakim tersebut, tetapi Socrates tidak mau meninggalkan kota asalnya. Aspek penyembuhan yang terdapat dalam filsafat Socrates ini, kelak akan mewarnai pula corak pemikiran para filsuf analitik yang berupaya menjernihkan pemakaian bahasa dalam filsafat. Perbedaanya hanya terletak pada kaum yang mereka tentang.[5]
Sedangkan untuk persamaan antara Socrates dan para filsuf analitik adalah sama-sama tidak mempunyai sudut pandangan sendiri tentang masalah yang diperbincangkan. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa Socrates termasuk salah seorang filsafat yang andal pada zamannya.[6]
Plato adalah seorang murid dan teman Socrates. Plato dilahirkan di Athena tahun 427 M dan meninggal pada tahun 347 M pada usia 80 tahun. Sejak usia 20 tahun, Plato mengikuti pelajaran Socrates dan pengaruhnya demikian kuat, sehingga menjadi muridnya yang setia. Intisari pemikiran filsafat Plato adalah pendapatnya tentang Idea. Konsep ‘pengertian’ yang dikemukakan Socrates diperdalam oleh Plato menjadi Idea. Idea timbul semata-mata dari kecerdasan berpikir. Berpikir dan mengalami menurut Plato adalah dua macam jalan yang berbeda untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang dicapai dengan berpikir lebih tinggi nilainya dari pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman.
Idea dalam paham Plato tidak saja pengertian jenis, tetapi juga bentuk dari keadaan yang sebenarnya. Idea bukanlah suatu pikiran, melainkan suatu realita. Menurut Plato, kebenaran umum itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif seperti pada Socrates. Definisi pada Socrates dapat saja diartikan tidak memiliki realitas. Nah, menurut Plato esensi itu mempunyai realitas. Pemikiran etika Plato, sama dengan etika Socrates, juga bersifat intelektual dan rasional. Dasar ajarannya adalah mencapai budi baik.
Salah satu pemikiran Plato adalah tentang tiga kelas warganegara. Plato memulai dengan menetapkan bahwa warga negara dibagi dalam tiga kelas, yaitu rakyat biasa, prajurit, dan wali. Hanya wali yang memiliki kekuasaan politik. Jumlah wali sangat sedikit, jika dibandingkan dengan dua kelas lainnya. Plato memperkuat Socrates dalam menghadapi kaum Sofis. Plato juga berpendapat bahwa selain kebenaran yang umum itu ada kebenaran yang khusus.[7]
Aristoteles adalah murid dan juga guru Plato, dia orang yang mendapat pendidikan yang baik sebelum menjadi filosof. Keluarganya adalah orang-orang yang tertarik pada ilmu kedokteran, Arirtoteles lahir pada tahun 384 SM di Stagira sebuah kota di Thrace. Ayahnya meninggal tatkala ia masih muda, ia di ambil oleh Poxenus dan memberikannya pendidikan yang istimewa. Tatkala berumur 18 tahun, ia di kirim ke Athena dan di masukkan ke Akademi Plato.[8]
Di dunia filsafat, Aristoteles terkenal sebagai Bapak logika. Logikanya disebut logika tradisional kerena nantinya berkembang apa yang disebut logika modern. Logika Aristoteles itu sering juga disebut logika formal.
Teologi Aristoteles cukup menarik dan berkaitan erat dengan pemikiran metafisikanya yang lain, bahkan “teologi” adalah sebutannya untuk apa yang kita sebut “metafisika”. Ia mengatakan bahwa ada tiga macam substansi; yang tertangkap indera dan bisa musnah, yang tertangkap indera namun tak dapat musnah, dan yang tak tertangkap indra sekaligus tak dapat musnah. Golongan pertama meliputi tumbuh- tumbuhan dan binatang, yang kedua benda-benda langit (yang ia yakini tak mengalami perubahan kecuali hanya bergerak), yang ketiga meliputi jiwa rasional pada manusia, serta pada Tuhan.[9]
Namun, ada substansi yang murni form, tanpa potentiality, jadi tanpa matter, yaitu Tuhan. Aristoteles percaya adanya Tuhan. Menurutnya bukti adanya Tuhan ialah sebagai penyebab adanya gerak (a first cause of motion).[10]
Argumen utama untuk membuktikan keberadaan Tuhan adalah konsep tentang kuasa prima: pasti ada yang menciptakan gerak, dan sesuatu ini pada dirinya sendiri haruslah tak tergerakkan, dan pastilah abadi, merupakan substansi dan aktualitas. Menurut Aristoteles, Tuhan melahirkan gerak dengan jalan di cintai, sedangkan hal-hal lain menyebabkan terjadinya gerak dengan cara dirinya sendiri harus bergerak. Tuhan adalah pikiran murni, sebab pikiranlah yang terbaik. “Hidup juga bagian dari Tuhan, sebab kehidupan adalah aktualitas pikiran. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu pengada yang hidup, baka, terbaik, sehingga kehidupan dan keberlangsungan yang terus menerus dan kekal adalah milik Tuhan.[11]
Sampai disini aragumen antara akal dan hati (iman). Keduanya sama-sama memiliki peran penting dalam setiap aspek kehidupan, sains dan ilmu pengetahuan lainnya dapat dipegang sebagian dan diperselisihkan sebagian[12]
Hellenisme pertama kali ada, pada zaman Yunani yang di sebarkan oleh salah satu penguasa Macedonia dari Romawi dan membawahi Yunani, Mesir, hingga Syiria yang bernama Alexander Agung, saat menjadi raja dia masih sangat muda (belum 30 tahun). Alexander adalah seorang murid kesayangan Aristoteles, sehingga cukup paham tentang kebudayaan, ilmu, politik, dan kemiliteran bangsa Yunani.[13]
Hellenisme merupakan percampuran (inkulturasi/akulturasi) antara kebudayaan Asia dengan kebudayaan Yunani sebagai unsur penggabungannya dan menghasilkan budaya baru. Pengaruh Hellenisme semakin meluas sampai ke India seperti Taksasila, Mathure dan Gandhara. Hellenisme itu tampak dalam pencampuran tradisi, kesenian, arsitektur, filsafat, ilmu pengetahuan, system pemerintatahan, bahasa dan lain-lain.[14]
Pokok permasalahan dipusatkan pada cara hidup manusia sehingga orang dikatakan bijaksana adalah orang yang mengatur hidupnya menurut budinya. Cara untuk mengatur hidupnya inilah yang menjadi dasar munculnya aliran-aliran dalam berfilsafat:
Pokok ajarannya adalah bagaimana agar manusia itu dalam hidupnya bahagia, dia mengemukakan pendapat bahwa agar manusia dalam hidupnya bahagia terlebih dahulu harus memperoleh ketenangan jiwa. Menurut kenyataan banyak manusia yang hidupnya tidak bahagia karena mengalami ketakutan. Jadi apabila manusia dapat menghilangkan ketakutannya, niscaya manusia akan memperoleh jiwa yang selanjutnya akan memperoleh kebahagiaan.
Pokok ajarannya adalah bagaimana manusia dalam hidupnya dapat bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan manusia harus harmoni terhadap dunia (alam) dan harmoni dengan dirinya sendiri, karena manusia bagian daripada dunia (alam). Untuk mencapai harmoni dengan dunia (alam), manusia harus terlebih dahulu harus harmoni dengan dirinya sendiri. Apabila manusia telah dapat mencapai harmoni dengan dirinya sendiri, maka kebahagiaan bukanlah tujuan hidup, tetapi dalam keadaan harmoni dengan dirinya sendiri itulah yang disebut kebahagiaan karena manusia dapat menguasai segala perasaaannya.
Pokok ajarannya adalah bagaimana manusia dalam hidupnya dapat bahagia. Sebagian besar manusia hidup tidak bahagia sehingga manusia sukar sekali mencapai kebijaksanaan. Syaratnya untuk mencapai kebahagiaan adalah manusia perlu untuk tidak mengambil keputusan karena orang yang tidak pernah mengambil keputusan disebut orang yang tidak pernah keliru. Untuk tidak pernah keliru itu manusia harus ragu-ragu terhadap segala bentuk kebenaran dan pengetahuan. Dengan demikian, orang yang bijaksana adalah orang yang selalu ragu-ragu, dengan ragu-ragu itu orang akan tidak pernah keliru.
Titik tolak pemikiran filsafat ini adalah bahwa asas yang menguasai segala sesuatu adalah satu. Pemikirannya, karena Tuhan merupakan isi dan titik tolak pemikirannya, Tuhan dianggap sebagai Kebaikan tertinggi dan sekaligus menjadi tujuan semua kehendak.[15]
- Achmad Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: PT Grafindo Persada.
- Adi, Sutarjo. 2013. Sejarah Pemikiran Barat Dan Yang Klasik Sampai Yang Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
- Herho, Sandi Hardian Susanto. Pijar Filsafat Yunani. PSIK ITB.
- Khoyin, Muhammad. Filsafat Bahasa. Bandung: CV Pustaka Setia.
- Russel, Bertrand. 2002. Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi sosial politik dari dari zaman kuno hingga sekarang. Yogayakarta: Pustaka Pelajar.
- Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Umum Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
: