Penulis: A. A. Navis
Tahun Terbit: di Cetak Kembali Tahun 2018
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Jumlah Halaman: 178
Pada novel yang berjudul kemarau yang ditulis oleh Ali Akbar Navis ini menceritakan tentang suatu kampung yang mengalami musim kemarau yang berkepanjangan, hal tersebut yang mengakibatkan tanah kering kerontang dan pecah. Pada novel tersebut, yang menjadi tokoh utamanya adalah Sutan Duano. Sutan Duano merupakan seorang pendatang yang kala itu datang ke kampung tersebut pada masa akhir kepemerintahan Jepang di Indonesia. Dia tinggal disebuah surau, ia juga merawat dan memakmurkan surau tersebut. Sutan Duano dipandang sebagai orang yang baik, saleh dan dermawan oleh masyarakat sekitar. Hal tersebut yang menjadikannya sebagai panutan di kampung tersebut dan menjadi guru kerohanian bagi penduduk kampung.
Pada suatu ketika, tibalah masa dimana musim kemarau tiba. Tanah kering dan gersang, sehingga tanah nampak pecah-pecah. Kondisi tersebut yang mengakibatkan ekonomi pada sector pertanian di kampung itu mengalami krisis. Ladang dan sawah kering kerontang tidak ada air yang menggenangi sawah mereka. Tidak ada padi yang dapat ditanam dengan kondisi tanah yang kering seperti itu. Sebenarnya ada danau yang dekat dengan kampung, akan tetapi budaya pemalas tidak ingin berusaha sangatlah subur dan mengakar di kampung itu. Hal tersebut yang membuat Sutan Duano berinisiatif untuk mengambil air dari danau tersebut untuk mengairi lading dan sawah. Kemudian Sutan Duano berusaha mengajak warga untuk bekerja sama, namun tidak ada yang mau lantaran itu semua menurut mereka hal yang mustahil kecuali dengan menggunakan pompa air. Kemudian Sutan Duano pergi menemui kepala kampung untuk menyampaikan gagasannya itu dan meminta diberinya pompa air, namun hal tersebut nihil akan hasil. Sutan Duano tidak menyerah begitu saja, dia akhirnya mengambil air dari danau dengan cara manual, serta mengajak masyarakat untuk bekerja sama. Akan tetapi masyarakat tidak ingin melakukannya lantaran hal tersebut perkerjaan yang gila. Kemudian datanglah anak yang bernama Acin bocah berumur 12 tahun, ia anak dari seorang janda yang bernama Gudam. Dari semua masyarakat yang ada di kampung itu, hanya Acin yang bersedia membantu Sutan Duano mengambil air dari danau. Melihat hal tersebut, semakin menjadilah masyarakat dalam membicarakan ide gila Sutan Duano yang sekarang sudah berhasil mempengaruhi Acin.
Pada suatu hari Acin tidak membantu Sutan Duano saat mengambil air. Hal tersebut yang menjadikan Sutan Duano pergi kerumahnya untuk menanyakan keadaan Acin. Ternyata Acin sedang sakit tetanus yang mengharuskan ia untuk pergi ke rumah sakit yang ada di kota. Akan tetapi tidak ada biaya untuk pengobatannya. Sontak saja Sutan Duano langsung mencari kendaraan dan memberikan uang kepada Gudam untuk pengobatan Acin. Gudam pun segera membawa Acin ke kota untuk mendapatkan perawatan. Selama Acin dirawat, Sutan Duano merasa kangen dengan Acin dan ia pergi kerumah Acin. Tak disangka ada seorang wanita yang mencurigakan di sana, Sutan Duano pun memergokinya dan memegang tangannya yang ingin kabur, dan ternyata dia adalah janda yang setiap hari datang ke surau untuk mengaji bersama Gudam dan yang lainnya. Janda itu menyukai Sutan Duano dan merasa ceburu dengan perhatian Sutan Duano kepada Gudam. Kemudian selang beberapa minggu Acin sembuh dan kembali pulang ke kampung. Gudam mengadakan sukuran atas kesembuhan Acin dan mengundang Sutan Duano untuk hadir, akan tetapi Sutan Duano menolak lantaran Gudam mengundang orang yang memiliki kecukupan dan tidan mengundang fakir miskin. Gudam bersebih dengan ketidak inginan Sutan Duano untuk hadir. Saat Gudam bersedih datanglah janda yang tempo hari dipergoki Sutan Duano. Janda tersebut mulai memprofokasi dan memfitnah Sutan Duano telah melecehkannya yang kala itu Sutan duano memergoki janda itu dan memegang tangannya yang hendak kabur. Sontak saja, warga pun mulai terprofokasi dan meminta agar Sutan Duano diusir dari kampung tersebut. Keesokan harinya Sutan Duano pergi dari kampung itu dan akan pergi ke Surabaya bertemu anaknya yang bernama Masri. Sebelum pergi, Sutan Duano memberikan sawah dan ladangnya kepada Acin, dan hasil panen yang dihasilkan dari usaha Sutan Duano mengambil air dari danau diberikan kepada penduduk kampung. Melihat hal tersebut seluruh penduduk kampung merasa terpukul dan merasa bersalah telah mengusir orang yang dermawan yang masih memikirkan kampung itu.
Tibalah Sutan Duano di depan rumah Masri anaknya. Masti kini sudah menikah dan memiliki seorang istri dan anak. Sutan Duano kemudian mengetuk pintu, tapi yang keluar adalah wanita tua yang tak asing bagi Sutan Duano, wanita tua itu adalah mantan istri Sutan Duano yang diusir saat hamil. Anak Sutan Duano dari wanita tua itu sekarang sudah besar yang bernama Arni yang tak lain adalah istri Masri. Hal tersebut yang membuat Sutan Duano kaget lantaran telah terjadi pernikahan antar saudara, dan ia ingin mengatakannya kepada mereka. Akan tetapi dilarang oleh wanita tua itu dengan alasan hal tersebut akan merusak rumah tangga mereka dan kebahagiaan mereka, sama seperti apa yang dilakukan Sutan Duano yang menelantarkan Masri demi seorang wanita malam setelah ibunya meninggal dan kemudian menikah lagi dengan wanita tua itu dan diusirnya pula sewaktu hamil. Mereka berdua terus bersitegang, dan pada akhirnya Sutan Duano dipukul dengan benda tumpul oleh wanita tua itu sampai pingsan.
: